TUGAS DAN KEWENANGAN OTORITAS JASA KEUANGAN DAN BANK INDONESIA MENURUT UNDANG-UNDANG OTORITAS
JASA KEUANGAN
Dosen Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa Medan Sumatera Utara
Amanat Pasal 34 ayat (1)
UU BI menentukan tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga
pengawasan sektor jasa keuangan yang independen dengan mengeluarkan
ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank. Dalam
penjelasannya dikemukakan bahwa lembaga tersebut berfungsi antara lain
melakukan pengawasan terhadap bank…. dan seterusnya. Amanat Pasal 34
ayat (1) UU BI menekankan kepada lembaga tersebut untuk bertindak
sebagai dewan pengawas (supervisory board), dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank secara berkoordinasi dengan BI.
Namun ternyata setelah
diundangkannya UU OJK menentukan lain, yakni memberikan kewenangan luas
kepada OJK untuk membuat pengaturan dan pengawasan bahkan kewenangannya
dapat bertindak sebagai penyidik layaknya seperti KPK. Sebagai contoh
dalam Pasal 5 dan Pasal 6 ditegaskan OJK berwenang melaksanakan
pengaturan dan pengawasan, padahal diketahui sebelumnya seperti yang
telah ditentukan dalam amanat Pasal 34 ayat (1) UU BI, wewenangnya
adalah mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas
pengawasan bank, namun fakta yuridisnya menentukan kewenangan OJK
meliputi mengatur, mengawasi, memeriksa, dan bahkan sebagai penyidik.
Oleh sebab itu, ketentuan-ketentuan dalam UU OJK tampak menjadikan OJK
sebagai lembaga super body bukan supervisory board.
1. Tugas Pengaturan dan Pengawasan antara Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia
Ketentuan tugas
pengaturan dan pengawasan yang ditentukan dalam Pasal 5 UU OJK berarti
tugas mengatur dikombinasi dengan tugas mengawai, dengan kata lain OJK
memiliki kewenangan kedua-duanya secara sekaligus yakni mengatur dan
mengawasi. Kombinasi antara kedua tugas tersebut sebagaimana ditentukan
lebih lanjut pada Pasal 6 huruf a UU OJK yang ditentukan, “OJK
melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa
keuangan di sektor perbankan”. Oleh karena OJK memiliki tugas untuk
melaksanakan pengaturan dan pengawasan tersebut, maka OJK diberi
kewenangan untuk itu.
Wewenang adalah sesuatu
yang dilimpahkan atau dari kekuasaan, hak yang dimiliki untuk mengambil
keputusan, sikap atau tindakan berdasarkan tanggung jawab yang
diberikan. Dengan demikian, kewenangan berarti hak bagi yang menerimanya
dan tidak bisa dilakukan oleh orang lain atau lembaga lain kecuali
dialihkan oleh otoritas terkait melalui surat kuasa untuk mengalihkan
kewenangan tersebut atau perintah dari yang berhak kepada pihak lain
untuk melakukan kewenangan dimaksud.
Kombinasi kewenangan OJK
dalam melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan,
dapat dilihat ketentuan Pasal 7 UU OJK, bahwa untuk melaksanakan tugas
pengaturan dan pengawasan di sektor Perbankan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 huruf a, OJK mempunyai wewenang:
- Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi:
a. Perizinan
untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana
kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger,
konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank; dan
b. Kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa;
- Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi:
1) Likuiditas,
rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal
minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap
simpanan, dan pencadangan bank;
2) Laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank;
3) Sistem informasi debitur;
4) Pengujian kredit (credit testing); dan
5) Standar akuntansi bank;
- Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi:
1) Manajemen risiko;
2) Tata kelola bank;
3) Prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan
4) Pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; dan
5) Pemeriksaan bank.
Selain menjadi kewenangan OJK tentang perizinan untuk
pendirian bank maupun pembukaan kantor bank, juga menjadi kewenangan BI
sebagaimana ditentukan pada Pasal 15 ayat (1) huruf b UU BI, yakni
“melaksanakan dan memberikan persetujuan dan izin atas penyelenggaraan
jasa sistem pembayaran”, kemudian ditentukan pula dalam Pasal 24 UU BI
yakni “…Bank Indonesia menetapkan peraturan memberikan dan mencabut izin
atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank, melaksanakan
pengawasan bank dan mengenakan sanksi terhadap Bank sesuai dengan
peraturan perundang-undangan”.
Mengenai merger, konsolidasi, dan akusisi bank
menjadi kewenangan OJK untuk membuat pengaturan dan pengawasannya,
kewenangan ini juga menjadi kewenangan BI sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 25 ayat (2) huruf e UU BI pada penjelasannya disebutkan salah satu
pokok ketentuan yang akan ditetapkan dalam PBI adalah merger,
konsolidasi, dan akuisisi bank. Pencabutan izin usaha bank yang menjadi
kewenangan OJK juga menjadi kewenangan BI untuk mengatur dan mengawasi
sebagaimana pada penjelasan Pasal 25 ayat (2) huruf j UU BI, ditentukan
pencabutan izin usaha, likuidasi, dan pembubaran bentuk hukum bank juga
menjadi kewenangan BI.
Mengenai kewenangan OJK tentang pengaturan dan
pengawasan yang berkaitan dengan kesehatan bank sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 7 UU OJK, tidak ditentukan sebagai kewenagan BI dalam Pasal
24 sampai dengan Pasal 33 UU BI akan tetapi mengenai pengaturan dan
pengawasan kesehatan bank menjadi wewenang BI dalam rangka menetapkan
dan melaksanakan kebijakan monter sebagaimana yang dijelaskan dalam
penjelasan Pasal 11 ayat (3) UU BI. Hal ini berarti BI juga dapat
bertindak untuk membuat pengaturan dan pengawasan terhadap bank jika
menyangkut pelaksanaan kebijakan moneter.
Kewenangan OJK untuk membuat pengaturan dan
pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi sebagaimana yang
ditentukan pada Pasal 7 UU BI juga menjadi kewenangan BI sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 25 ayat (1) UU BI bahwa, “Dalam rangka
melaksanakan tugas mengatur bank, Bank Indonesia berwenang menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian”.
Berdasarkan kesamaan kewenangan antara BI dan OJK
sebagaimana ditentukan di atas, merupakan kombinasi kewenangan tugas
mengatur dan mengawasi antara BI dan OJK. Oleh sebab itu, dalam rangka
menjalankan tugas dan kewenangan mengatur dan mengawasi bank sebagaimana
dimaksud di atas, dilakukan kedua lembaga ini melalui koordinasi yang
terintegrasi. Jika tidak dilakukan melalui koordinasi yang terintegrasi,
niscaya sinergi pembuatan pengaturan dan pengawasan bank antara BI dan
OJK tidak akan sinkron artinya pada suatu waktu bisa menimbulkan
ketidaksesuaian substansi dalam pengaturan dan menimbulkan benturan
kepentingan dalam rangka pengawasan terhadap bank.
2. Tugas Pengaturan Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia
Dalam UU OJK terdapat
ketentuan yang menentukan secara khusus tentang kewenangan OJK yang
berkaitan dengan tugas mengatur bank yakni terdapat pada Pasal 8 UU OJK.
Akan tetapi ketentuan ini dipandang tidak konsisten menentukan tugas
OJK sebagai pembuat peraturan sebab aspek yang ditentukan dalam Pasal 8
UU OJK adalah “Untuk melaksanakan tugas pengaturan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang”. Sedangkan yang dimaksud dalam
Pasal 6 UU OJK itu adalah kombinasi antara pengaturan dan pengawasan
terhadap bank. Selengkapnya ketentuan Pasal 8 UU OJK menentukan sebagai
berikut:
Untuk melaksanakan tugas pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang:
a. Menetapkan peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini;
b. Menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
c. Menetapkan peraturan dan keputusan OJK;
d. Menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan;
e. Menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK;
f. Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu;
g. Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada Lembaga Jasa Keuangan;
h. Menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan
i. Menetapkan
peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
Persoalannya adalah, jika yang dimaksud dalam Pasal 8
UU OJK adalah tugas pengaturan, mengapa disebutkan dalam redaksinya
“…..sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, …….”. Sedangkan yang dimaksud
dalam Pasal 6 UU OJK itu adalah kombinasi antara pengaturan dan
pengawasan terhadap bank. Hal ini berarti Pasal 8 UU OJK juga
mengkombinasi kewenangan pengaturan dan pengwasan OJK terhadap bank,
berarti sama saja dengan ketentuan dalam Pasal 7 UU OJK tentang
kewenangan pengaturan dan pengawasan.
Jika dianalisa pasal-pasal dalam UU OJK secara
keseluruhan, tidak ada satupun pasal yang mengamanatkan pembentukan
Peraturan Pemerintah yang dibuat oleh pemerintah dalam arti luas. Akan
tetapi dalam ketentuan Pasal 37 ayat
(6) UU OJK di bagian penjelasannya dijelaskan bahwa yang menyiapkan
rancangan Peraturan Pemerintah memuat antara lain: tata cara penetapan,
jenis, besaran, waktu penagihan dan pembayaran pungutan, dan sanksi
denda adalah OJK itu sendiri. Demikian pula halnya dalam UU BI tidak ada
satupun pasal yang mengamanatkan kepada BI untuk membuat Peraturan
Pemerintah, melainkan BI diberikan amanat oleh undang-undang untuk
membuat PBI. Hal ini berarti dalam rangka menjalankan kewenangan tugas
mengatur, BI dan OJK berwenang membuat peraturan pelaksananya bukan
pemerintah dalam arti luas.
3. Tugas Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia
Dalam UU OJK terdapat ketentuan yang menentukan
secara khusus tentang kewenangan OJK yang berkaitan dengan tugas
pengawasan terhadap bank yakni terdapat pada Pasal 9 UU OJK. Ketentuan
ini juga dipandang tidak konsisten menentukan tugas OJK untuk pengawasan
bank sebab aspek yang ditentukan dalam Pasal 9 UU OJK adalah “Untuk
melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK
mempunyai wewenang”. Pasal 9 UU OJK ini juga menentukan “….sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6, …” yang berarti adalah kombinasi antara
pengaturan dan pengawasan terhadap bank. Selengkapnya ketentuan Pasal 9
UU OJK menentukan sebagai berikut:
Untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang:
a. Menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan;
b. Mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh kepala eksekutif;
c. Melakukan
pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan konsumen, dan
tindakan lain terhadap lembaga jasa keuangan, pelaku, dan/atau penunjang
kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
d. Memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan dan/atau pihak tertentu;
e. Melakukan penunjukan pengelola statuter;
f. Menetapkan penggunaan pengelola statuter;
g. Menetapkan
sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap
peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan
h. Memberikan dan/atau mencabut:
1) Izin usaha;
2) Izin orang perseorangan;
3) Efektifnya pernyataan pendaftaran;
4) Surat tanda terdaftar;
5) Persetujuan melakukan kegiatan usaha;
6) Pengesahan;
7) Persetujuan atau penetapan pembubaran; dan
8) Penetapan lain,
sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
Aspek yang dikritik dalam hal ini tepatnya berada
pada bagian pengantar Pasal 9 dan juga Pasal 8 UU OJK bahwa ketentuan
ini tidak konsisten menentukan mana yang menjadi tugas mengawasi, mana
tugas mengatur serta mana tugas mengawasi dan mengatur. Jika yang ingin
dimaksud oleh pembuat undang-undang dalam Pasal 9 UU OJK adalah tugas
pengawasan, mengapa mesti disebutkan lagi dengan redaksi “…..sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6, …….”. Sedangkan yang dimaksud dalam Pasal 6 UU
OJK itu adalah kombinasi antara pengaturan dan pengawasan terhadap bank.
Hal ini berarti Pasal 9 UU OJK juga mengkombinasi kewenangan pengaturan
dan pengwasan OJK terhadap bank, seperti dalam Pasal 7 UU OJK tentang
kewenangan pengaturan dan pengawasan.
Jika dibaca sepintas lalu maksud ketentuan Pasal 9 UU
OJK adalah menentukan kewenangan OJK yang berkaitan dengan pengawasan.
Akan tetapi karena digunakan redaksi “…..sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6, …….”, sehingga tampak ketentuannya benar-benar tidak konsisten
sebab Pasal 9 UU OJK juga merupakan kombinasi kewenangan OJK untuk
mengatur dan mengawasi bank.
Jika maksud pembuat undang-undang untuk menentukan
kewenangan OJK untuk mengawasi dalam ketentuan ini, maka seharusnya
redaksi yang digunakan di bagian pengantar Pasal 6 UU OJK adalah:
”OJK melaksanakan tugas pengaturan, pengawasan, pengaturan dan pengawasan terhadap:
a. Kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;
b. Kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan
c. Kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.”
Sehingga dengan redaksi
yang demikian di atas, akan tampak dengan jelas bidang-bidang apa saja
yang menjadi kewenangan OJK untuk pengaturan, bidang apa saja yang
menjadi kewenangan OJK untuk pengawasan, serta bidang apa saja yang
menjadi kewenangan OJK untuk pengaturan dan pengawasan. Jika UU OJK
khususnya Pasal 6 tetap menggunakan redaksi “….pengaturan dan
pengawasan…” saja, maka ketentuan ini jelas bisa membuka peluang besar
kepada lembaga OJK untuk masuk pada semua aspek dan termasuk hal-hal
yang bersifat khusus yang seharusnya hal itu menjadi kewenangan BI.
Selanjutnya dengan menggunakan redaksi “….pengaturan dan pengawasan…”
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UU OJK tersebut, jelas-jelas DPR
ingin menjadikan OJK adalah lembaga super body bukan dewan pengawas (supervisory board) sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 34 ayat (1) UU BI.
4. Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia Tentang Penilaian Terhadap Kesehatan Bank
Berkaitan dengan tugas pengawasan BI khususnya masalah penilaian kesehatan terhadap bank yang bermasalah. Misalnya ketentuan dalam Pasal 31 UU No.23 Tahun 1999, yang menentukan:
a. Bank Indonesia
dapat memerintahkan bank untuk menghentikan sementara sebagian atau
seluruh kegiatan transaksi tertentu apabila menurut penilaian Bank Indonesia terhadap suatu transaksi patut diduga merupakan tindak pidana di bidang perbankan.
b. Berdasarkan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia wajib mengirim tim pemeriksa untuk meneliti kebenaran atas dugaan tersebut.
c. Apabila dari hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diperoleh bukti yang cukup, Bank Indonesia pada hari itu juga mencabut perintah penghentian transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Selanjutnya, berkaitan dengan penilaian BI terhadap bank, juga ditentukan dalam Pasal 33 UU No.23 Tahun 1999, sebagai berikut:
Dalam hal keadaan suatu menurut penilaian Bank
Indonesia membahayakan kelangsungan usaha bank yang bersangkutan dan
atau membahayakan sistem perbankan atau terjadi kesulitan perbankan yang
membahayakan perekonomian nasional, Bank Indonesia dapat melakukan
tindakan sebagimana diatur dalam undang-undang tentang perbankan yang
berlaku.
Makna dari ketentuan Pasal 31 UU No.21 Tahun 1999
tersebut, sesungguhnya BI berwenang memberikan penilaian terhadap bank
yang melakukan transaksi yang patut diduga merupakan tindak pidana di
bidang perbankan, bahkan BI berwenang dapat memerintahkan bank untuk
menghentikan sementara sebagian atau seluruh kegiatan transaksi tertentu
menurut penilaiannya.
Melalui penilaian BI juga berpeluang untuk
menghentikan sementara atau seluruh kegiatan transaksi bank terkait
dengan temuan-temuan yang membahayakan kelangsungan usaha bank yang
bersangkutan dan atau membahayakan sistem perbankan atau terjadi
kesulitan perbankan yang membahayakan perekonomian nasional (vide: Pasal 33 UU No.23 Tahun 1999).
Berdasarkan ketentuan Pasal 31 dan Pasal 33 UU No.23
Tahun 1999 tersebut di atas, menentukan kewenangan BI hanya sampai
sebatas memberikan penilaian terhadap bank dan menghentikan sementara
kegiatan transaksi tertentu. Untuk melakukan tindakan selanjutnya, BI
tidak berwenang menentukan sehat atau tidak sehatnya bank dimaksud
tersebut. Sebab kewenangan BI sebagai Bank Sentral berhenti pada tahap
memberikan penilaian dan penghentian sementara kegiatan transaksi
tertentu, kemudian selanjutnya dialihkan menurut ketentuan Pasal 40 UU
OJK yang menentukan:
a. Dalam hal Bank Indonesia untuk melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya memerlukan pemeriksaan khusus terhadap bank tertentu, Bank Indonesia
dapat melakukan pemeriksaan langsung terhadap bank tersebut dengan
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis terlebih dahulu kepada OJK.
b. Dalam melakukan kegiatan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia tidak dapat memberikan penilaian terhadap tingkat kesehatan bank.
c. Laporan
hasil pemeriksaan bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
kepada OJK paling lama 1 (satu) bulan sejak diterbitkannya laporan hasil
pemeriksaan.
Pengalihan kewenangan untuk menentukan tingkat
kesehatan bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) di atas,
tidak ditujukan kepada OJK dan OJK sekalipun juga tidak berwenang
menentukan sehat atau tidaknya bank dimaksud. Berdasarkan Pasal 41 ayat
(1) UU OJK, diketahui bahwa OJK hanya diberi kewenangan melakukan upaya
penyehatan terhadap bank dan menginformasikannya kepada LPS mengenai
bank bermasalah tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Jika OJK diberi kewenangan untuk menyehatkan bank dimaksud, maka tidak
ada ubahnya peran OJK dalam konteks ini serupa dengan Badan Penyehatan
Perbankan Nasional (BPPN) sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 76
ayat (2) UU BI.
Baik BI maupun OJK sama-sama tidak berwenang
menetapkan tingkat kesehatan bank yang bermasalah, akan tetapi OJK
berwenang melakukan upaya penanganan pertama pada bank dimaksud. Jika
tidak bisa ditangani untuk disehatkan, maka dapat dirujuk kepada
ketentuan dimaksud dalam Pasal 44 tentang Protokol Koordinasi untuk
dilakukan pengambilan keputusan secara musyawarah sesuai dengan
penilaiannya masing-masing.
Sebagaimana kewenangan BI untuk melaksanakan tugas
pengawasan terhadap bank seperti yang dijelaskan pada bab sebelumnya
khususnya pada Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal
29, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, dan Pasal 33 UU No.23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia, tetap dilakukan oleh BI. Akan tetapi dalam
hal wewenangnya melakukan pemeriksaan khusus, sesuai Pasal 40 ayat (1)
UU OJK, BI menyampaikan atau memberitahukannya secara tertulis terlebih
dahulu kepada OJK.
Ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU OJK menentukan: “Dalam hal Bank Indonesia untuk melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya memerlukan pemeriksaan khusus terhadap bank tertentu, Bank Indonesia
dapat melakukan pemeriksaan langsung terhadap bank tersebut dengan
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis terlebih dahulu kepada OJK”.
Ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU OJK ini tidak
menentukan “kewajiban” kepada BI untuk menyampaikan terlebih dahulu
kepada OJK melainkan ditentukan dengan redaksi “….dengan menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis terlebih dahulu kepada OJK”. Dengan
demikian tidak ada kewajiban BI untuk menyampaikan terlebih dahulu
kepada OJK menurut ketentuan ini. Itu berarti, BI bisa sewaktu-waktu
melakukan pemeriksaan tanpa harus memberitahukannya kepada OJK.
5. Tugas Pengaturan Otoritas Jasa Keuangan yang Berkaitan Dengan Pengawasan Bank
Pengaturan tugas yang
berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank antara BI dan OJK
dilakukan melalui koordinasi di mana OJK meminta penjelasan dari BI
tentang keterangan data makro yang diperlukan sebagaimana dimaksud Pasal
34 ayat (1) UU BI, yang dalam penjelasan Pasal 34 ayat (1) berikut ini:
Lembaga pengawasan jasa
keuangan yang akan dibentuk melakukan pengawasan terhadap bank dan
perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi
asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan
pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan
dana masyarakat. Lembaga ini bersifat independen dalam menjalankan
tugasnya dan kedudukannya berada di luar pemerintah dan berkewajiban
menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan dan Dewan
Perwakilan Rakyat. Dalam melaksanakan tugasnya, lembaga ini (supervisory board)
melakukan koordinasi dan kerjasama dengan Bank Indonesia sebagai Bank
Sentral yang akan diatur dalam Undang-undang pembentukan lembaga
pengawasan dimaksud. Lembaga pengawasan ini dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank dengan koordinasi dengan Bank Indonesia dan meminta penjelasan dari Bank Indonesia keterangan dan data makro yang diperlukan”.
Dalam penjelasan tersebut
sesungguhnya amanat Pasal 34 ayat (1) UU BI menentukan tugas OJK adalah
mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas
pengawasan terhadap bank dengan koordinasi dengan BI. Jika yang
dibicarakan dalam konteks ini, mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank, maka peran OJK tidak lain hanya sebagai dewan pengawas (supervisory board).
Amanat Pasal 34 ayat (1)
UU BI jelas menentukan tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga
pengawasan sektor jasa keuangan yang independen dengan mengeluarkan
ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank.
Amanat Pasal 34 ayat (1) UU BI menekankan kepada lembaga OJK untuk
bertindak sebagai dewan pengawas (supervisory board), dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank yang sifatnya koordinasi dengan BI.
Namun ternyata setelah
diundangkannya UU OJK sebagaimana telah dijelaskan di atas menentukan
lain, yakni memberikan kewenangan luas kepada OJK untuk membuat
pengaturan dan pengawasan bahkan kewenangannya dapat bertindak sebagai
penyidik layaknya seperti KPK. Sebagai contoh dalam Pasal 5 dan Pasal 6
ditegaskan OJK berwenang melaksanakan pengaturan dan pengawasan, padahal
diketahui sebelumnya seperti yang telah ditentukan dalam amanat Pasal
34 ayat (1) UU BI, wewenangnya adalah mengeluarkan ketentuan yang
berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank, tetapi norma
pengaturannya menentukan kewenangan OJK meliputi mengatur, mengawasi,
memeriksa, dan bahkan sebagai penyidik. Amanat Pasal 34 ayat (1) UU BI
bernuansa politis bukan mencerminkan aspek yuridisnya sebab amanat
tersebut pada perkembangannya atau setelah diundangkannya UU OJK,
ketentuan-ketentuan dalam UU OJK tampak menjadikan OJK sebagai lembaga super body bukan supervisory board.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar