Di sudut pasar Madinah Al-Munawarah seorang pengemis Yahudi buta hari
demi hari apabila ada orang yang mendekatinya ia selalu berkata "Wahai
saudaraku jangan dekati
Muhammad, dia itu orang gila, dia
itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya kalian
akan dipengaruhinya". Setiap pagi
Rasulullah s.a.w. mendatanginya dengan membawa makanan, dan tanpa berkata sepatah kata pun Rasulullah
s.a.w. menyuap makanan yang dibawanya kepada pengemis itu
walaupun pengemis itu selalu berpesan agar tidak mendekati orang yang
bernama
Muhammad. Rasulullah
s.a.w melakukannya hingga menjelang Nabi Muhammad
s.a.w. wafat. Setelah kewafatan Rasulullah
s.a.w. tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi kepada pengemis Yahudi buta itu.
Suatu hari Abubakar r.a berkunjung ke rumah anaknya Aisyah r.ha. Beliau
bertanya kepada anaknya,
"Anakku adakah sunnah kekasihku yang belum aku kerjakan", Aisyah r.ha
menjawab pertanyaan ayahnya, "Wahai ayah engkau adalah seorang ahli
sunnah hampir tidak ada satu sunnah pun yang belum ayah lakukan kecuali
satu sunnah saja". "Apakah
itu?", tanya Abubakar r.a. Setiap pagi Rasulullah
s.a.w. selalu pergi ke ujung pasar dengan membawakan makanan
untuk seorang pengemis Yahudi buta yang berada di sana", kata Aisyah
r.ha.
Ke esokan harinya Abubakar r.a. pergi ke pasar dengan membawa makanan
untuk diberikannya kepada pengemis itu. Abubakar r.a mendatangi pengemis
itu dan memberikan makanan itu kepada nya. Ketika Abubakar r.a. mulai
menyuapinya, si pengemis marah sambil berteriak,
"Siapakah kamu ?". Abubakar r.a menjawab, "Aku orang yang biasa". "Bukan
!, engkau bukan orang yang biasa mendatangiku", jawab si pengemis buta
itu. Apabila ia datang kepadaku tidak susah tangan ini memegang dan
tidak susah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu
selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan tersebut
dengan mulutnya setelah itu ia berikan pada ku dengan mulutnya sendiri",
pengemis itu melanjutkan perkataannya.
Abubakar r.a. tidak dapat menahan air matanya, ia menangis sambil
berkata kepada pengemis itu, aku memang bukan orang yang biasa datang
pada mu, aku adalah salah seorang dari sahabatnya, orang yang mulia itu
telah tiada. Ia adalah
Muhammad Rasulullah s.a.w. Setelah
pengemis itu mendengar cerita Abubakar r.a. ia pun menangis dan kemudian
berkata, benarkah demikian?, selama ini aku selalu menghinanya,
memfitnahnya, ia tidak pernah memarahiku sedikitpun, ia mendatangiku
dengan membawa makanan setiap pagi, ia begitu mulia.... Pengemis Yahudi
buta tersebut akhirnya bersyahadat dihadapan Abubakar r.a.
28 April 2013
Tragedi Roswell 1947
Di poskan oleh
Unknown
di
Minggu, April 28, 2013
Kamis, 08 Januari 2009
Tragedi Roswell 1947

Tragedy Roswell bulan Juli 1947, tentang jatuhnya pesawat tak dikenal alias UFO di desa Roswell, USA.
Banyak saksi mata mempercayai peristiwa ini mulai dari yg tua renta sampai ke anaknya.
Para saksi mata di doktrin oleh militer untuk bungkam hingga puluhan tahun.
Alien sebanyak 4 orang, 3 meninggal dan satunya luka parah.
Setelah diketahui pihak militer, kawasan tempat jatuhnya UFO tsb langsung di jaga dengan ketat dan sterilkan dengan radius beberapa kilometer dari kegiatan warga setempat.
Cuplikan videonya banyak beredar dinegara² lain dan di internet saat Alien itu di autopsi.
Pesawat UFO yg jatuh di desa tersebut sampai menginspirasikan pada film Independance Day, dimana aktor Will Smith mengendarai pesawat Alien tsb yang digunakan untuk memasuki Virus Komputer pada pesawat Indiknya Alien.
Tapi hingga kini pihak militer USA menyangkal bahwa itu adalah balon_udara_pendeteksi_cuaca_milik_mili ter
Dan pihak militer USA telah menyatakan bahwa kasus_balon_udara_ini_telah_dinyatakan_ ditutup_dan_dinyatakan_selesai_alias_Ca se_Closed
Tapi walau kasus sudah ditutup, banyak film tentang peristiwa ini dalam beberapa versi sudah diterbitkan.

Pria Selamat Walau Tombak Masuk Tengkoraknya
Di poskan oleh
Unknown
di
Minggu, April 28, 2013
Pria Brasil ini pasti sangat beruntung. Buktinya, ketika sebilah tombak menusuk hingga tengkoraknya, ia masih selamat.
Inilah kejadian yang dialami Bruno Coutinho, pria asal Brazil. Seperti dikutip Skynews, ia sedang membersihkan tombaknya, namun tanpa disengaja tombak tersebut menusuk tengkorak kepalanya lewat mata kiri. Melalui X-ray terlihat jika tombak tersebut menembus hingga ke bagian belakang tengkorak kepalanya.
Operasi dilakukan sebanyak dua kali untuk mengeluarkan tombak dari kepala Coutinho. Selama kurang lebih dari 10 jam, tombak tertancap di kepalanya. Meskipun tidak ada bagian di kepalanya yang rusak, mata kirinya menjadi buta.
20 April 2013
Biografi Gus Dur, Profil Abdurrahman Wahid
Di poskan oleh
Unknown
di
Sabtu, April 20, 2013
Abdurrahman "Addakhil", demikian nama
lengkapnya. Secara leksikal, "Addakhil" berarti "Sang Penakluk", sebuah
nama yang diambil Wahid Hasyim, orang tuanya, dari seorang perintis
Dinasti Umayyah yang telah menancapkan tonggak kejayaan Islam di
Spanyol. Belakangan kata "Addakhil" tidak cukup dikenal dan diganti nama
"Wahid", Abdurrahman Wahid, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan
Gus Dur. "Gus" adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada
seorang anak kiai yang berati "abang" atau "mas" (Barton, Greg.
2004:25)
Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara yang dilahirkan di Denanyar Jombang Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940. Secara genetik Gus Dur adalah keturunan "darah biru". Ayahnya, K.H. Wahid Hasyim adalah putra K.H. Hasyim Asy'ari, pendiri jam'iyah Nahdlatul Ulama (NU)-organisasi massa Islam terbesar di Indonesia-dan pendiri Pesantren Tebu Ireng Jombang. Ibundanya, Ny. Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pesantren Denanyar Jombang, K.H. Bisri Syamsuri. Kakek dari pihak ibunya ini juga merupakan tokoh NU, yang menjadi Rais 'Aam PBNU setelah K.H. Abdul Wahab Hasbullah. Dengan demikian, Gus Dur merupakan cucu dari dua ulama NU sekaligus, dan dua tokoh bangsa Indonesia. (Barton, 2000:26)
Dalam kesehariannya, Gus Dur mempunyai kegemaran membaca dan rajin memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya. Selain itu ia juga aktif berkunjung ke perpustakaan umum di Jakarta. Pada usia belasan tahun Gus Dur telah akrab dengan berbagai majalah, surat kabar, novel dan buku-buku yang agak serius. Karya-karya yang dibaca oleh Gus Dur tidak hanya cerita-cerita, utamanya cerita silat dan fiksi, akan tetapi wacana tentang filsafat dan dokumen-dokumen manca Negara tidak liput dari perhatiannya. Disamping membaca, tokoh satu ini senang pula bermain bola, catur dan musik. Dengan demikian tidak heran jika Gus Dur pernah diminta untuk menjadi komentator sepak bola di televisi. Kegemaran lainnya, yang ikut juga melengkapi hobinya adalah menonton bioskop. Kegemarannya ini menimbulkan apresiasi yang mendalam dalam dunia film. Inilah sebabnya mengapa Gus Dur pada tahun 1986-1987 diangkat sebagai ketua juri Festival Film Indonesia. (Biografi Gusdur, Profil Abdurrahman Wahid)
Disamping dikenal sebagai seorang budayawan, Gus Dur juga merupakan aktor politik yang handal, kecerdikan dan kepintaran Abdurrahman Wahid ini nampak dari cara ia berperan sebagai political player, Abdurrahman Wahid benar-benar telah menjadi seorang ad-Dakhil. Tidak mengherankan bila berbagai pengharaan telah diperolehnya. Di antaranya pernah menerima penghargaan sebagai Man of The Year 1990 oleh majalah Editor. Abdurrahman Wahid memperoleh penghargaan Magsaysay dari Philipina, lantaran dinilai telah berhasil memainkan peran penting sebagai integrator bangsa, membangkitkan semangat kerukunan antar umat beragama, dan mempunyai komitmen yang tinggi terhadap demokrasi.
Salim Said dalam Asmawi (1999:155) mengakui bahwa Gus Dur adalah politikus paling ulung. Sejak era 1990-an di Indonesia hanya ada dua politikus sejati, yakni Pak Harto dan Gus Dur. Kini setelah Soeharto tidak lagi terjun dalam politik praktis, tinggal Gus Dur, yang ia anggap politikus paling ulung.
Predikat sebagai political player ulung sebagaimana disebut di atas tentu tidak semuanya sependapat. Mengingat di masyarakat memang ada dikotomi dalam melihat sosok Abdurrahman wahid. Ada yang memandang dengan kagum, sebaliknya ada yang memandang dengan sinisme. Bahkan terkadang lebih dari itu, Abdurrahman wahid tidak jarang dinilai sebagai inkonsisten, sekedar tampil beda, munafik, agen zionis, anggota Partai Ba’ats (Irak), dan sebutan minor lainnya. Dikotomi penilaian ini tidak ada yang salah selama hal itu tetap dalam kerangka yang kritis dan proporsional, dengan selalu berusaha untuk mengedepankan obyektifitas.
Dianalogikan sebuah gunung, maka pendakian terhadapnya Abdurrahman wahid dengan segala manuver dan kontroversinya hendaklah ditempuh dengan banyak jalur. Saran ini tentu saja tidak berlebihan, mengingat tanpa melakukan pendakian dari berbagai jalur, yang akan terjadi adalah bias penglihatan.
Sebagai tokoh yang selalu bersikap kontroversi, ke-anehan dan kevokalannya, dengan selalu mengedepankan watak inklusifisme, dan komitmennya dalam upaya menciptakan budaya yang demokratis, apa yang dilakukan Abdurrahman Wahid selama ini tanpaknya menelorkan hasil. Pada tingkat internal warga nahdliyin misalnya, sekarang sudah tumbuh budaya keterbukaan (inklusif), budaya untuk saling menghargai, dan toleran (tasamuh) terhadap perbedaan pendapat, perbedaan agama yang memang ciri khas dari sikap kemasyarakatan Nu. Di samping itu tampilnya Gus Dur sebagai mantan PB-NU, telah mengubah lanskap sosiologis yang menempatkan NU dalam kelompok konservatif atau tradisionalis.
Sebelum dipimpin Gus Dur, citra NU yang menonjol adalah sebagai organisasi Islam yang ekslusif dari pengaruh pemikiran kontemporer yang berkembang, konservatif dalam pemahaman keagamaan, dan fundamentalis dalam memperjuangkan nilai-nilai kebenaran yang diyakininya. Hanya dalam tiga periode kepemimpinannya, dia berhasil mengubah citra NU menjadi inklusif, modern, dan moderat. Gus Dur juga sangat bersemangat dalam memperjuangkan nilai-nilai demokratis dalam kehidupan politik nasional, sementara kata orang, yang bersangkutan belum tentu demokrat dalam pergaulan sehari-hari. Ini mungkin berkaitan dengan tradisi pesantren, di mana posisi kiai tak dapat diganggu gugat dan tidak biasa dikritik.
Pandangan yang menyebut Abdurrahman Wahid sebagai pejuang demokrasi rasanya tidak berlebihan bila menengok sepak terjang dan pemikirannya yang sarat dengan nilai-nilai demokrasi dan penguatan akar civil society. Menurut Gus Dur Demokrasi adalah keadaan tertentu yang memiliki beberapa ciri, antara lain harus bertumpu pada kedaulatan hukum dan memberikan perlakuan yang sama pada semua warga negara di hadapan undang-undang. Ini harus ditunjang oleh kemerdekaan berbicara, kebebasan berpikir dan sikap menghormati pluralitas pandangan. Lebih jauh lagi, ia berarti keharusan memelihara dan melindungi hak-hak pihak minoritas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jadi semua hal itu mengacu kepada kepentingan umum yaitu kepentingan bersama sebagai bangsa dan negara. Dalam keadaan demokrasi itu berjalan sepenuhnya, orang tidak memiliki ketakutan akan berpendapat atau berkelakuan yang aneh-aneh. Kepentingan bangsa ditentukan oleh mayoritas pemberi suara dalam pemilihan umum yang diandaikan menjadi wahana “kedaulatan rakyat”. (www.gusdur.com)
Tokoh Islam yang sejak awal tidak mau bergabung dengan ICMI ini cendrung menempatkan perjuangan umat hanya sebagai bagian dari perjuangan untuk menciptakan kehidupan politik yang lebih demokratis di negeri ini. Menurutnya, yang terpenting sekarang ini adalah bagaimana mengokohkan mekanisme politik yang demokratis. Karena itu, ia tak pernah mempersoalkan tentang jumlah orang Islam yang duduk dalam pemerintahan maupun lembaga perwakilan (Afandi,1996:5)
Beberapa sepak terjangnya setidaknya menjadi cerminan dari pemikiran dan obsesinya untuk menciptakan dan membudayakan demokrasi di satu sisi dan terciptanya civil society yang kuat di sisi lain. Pertama, kasus pencabutan SIUPP Monitor 1990, lantaran polling yang menghebohkan yang dinilai melecehkan Rasulullah Muhammad. Di kata hampir semua ummat Islam mengecam dan menuntut dibrendelnya Monitor, Abdurrahman Wahid justru tampil “membela” dan mengecam keras pembredelan Monitor. Menurutnya dengan menuntut pembredelan Monitor, maka sama artinya memberikan otoritas dan membenarkan perilaku pemerintah ketika itu yang suka melakukan pembrendelan. “Pembelaan” nya terhadap Monitor bukan lantaran Abdurrahman wahid tidak marah atas polling Monitor, namun karena sikap ummat Islam yang terkesan mau main hakim sendiri, termasuk menuntut pencabutan SIUPP yang sama sekali tidak demokratis.
Kedua, kelahiran ICMI pada tahun 1990 menurut pandangan Abdurrahman Wahid sarat akan nuansa sektarian. Nuansa ini dalam banyak hal menurutnya cukup mengganggu kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Karenanya Abdurrahman wahid menolak kehadiran ICMI, termasuk ikatan-ikatan cendikiawan lainnya yang juga mengedepankan primodialisme keagamaan. Respon atas penolakannya ini, selain ditunjukkan dengan sikapnya yang tidak mau bergabung dengan ICMI, juga dengan mendirikan Forum Demokrasi.
Ketiga, pasca politik “sapu bersih” pemerintah dalam Peristiwa 27 Juli 1996. sesudah peristiwa berdarah ini, suara-suara kritis yang tadinya begitu keras, hilang seketika. Masyarakat juga dibuat ketakutan luar biasa. Dalam suasana mencekam ini, Abdurrahman wahid tampil dengan mendirikan “posko pengaduan” bagi mereka yang merasa kehilangan sanak keluarganya, mengalami kerugian fisik maupun harta benda. Gus Dur sendiri menjadi relawan dalam posko tersebut.
Dan keempat, pembelaannya terhadap kelompok minoritas. Pembelaan terhadap keluarga Kong Hu Chu dalam persidangannya di PTUN Surabaya, yang kebetulan perkawinannya tidak diakui pemerintah, lantaran mereka tetap bersikukuh hati untuk menggunakan agama mereka, kong Hu Chu, setidaknya menjadi bukti kepedulian Abdurrahman wahid pada kelompok minoritas.
Sepak terjang Abdurrahman wahid dalam menegakkan demokrasi ini tampaknya sangat dipengaruhi oleh pemikiran “liar”-nya yang selalu mengedepankan nilai-nilai inklusifisme, selalu berusaha untuk mengambil “jalan tengah” (moderat).
Abdurrahman Wahid mengartikan demokrasi sebagai kondisi di mana kebebasan berpendapat yang benar-benar dijamin undang-undang, sebab menurutnya, kebebasan merupakan salah satu esensi demokrasi. Adanya kebebasan untuk berorganisasi dan berserikat, adanya kebebasn berpegian, masuk, dan keluar negeri tanpa harus dikaitkan dengan masalah politik. Orang yang mengeritik pemerintah sekeras apapun, menurut Abdurrahman Wahid bukan merupakan alasan bagi pemerintah untuk melakukan “cekal”. (Abdurrahman Wahid dalam Murod, 1999:185).
Selain itu, menurut Gus Dur demokrasi juga mensyaratkan beberapa hal, yaitu : pertama rasa tanggung jawab pada kepentingan bersama, kedua, kemampuan menilik masa depan, dan ketiga, kesediaan berkorban bagi masa depan. Dan ini semua menurut Gus Dur membutuhkan adanya kerelaan, dan keinginan untuk melakukan sesuatu tanpa harus diberi imbalan karena “kerelaan” inilah sebenarnya hakekat dari demokrasi. Jadi demokrasi adalah sesuatu yang dilakukan dengan rela (dalam Murod, 1999:158).
Gagasan Gus Dur dalam Komunikasi politik
Pada dasarnya, gagasan besar Abdurrahman Wahid ldalam komunikasi politik lebih diletakkan pada upaya membangun pemikiran liberal mengenai agama, negara dan masyarakat. Gagasan-gagasan liberal terhadap persoalan tersebut merupakan konsekuensi logis dipilihnya paradigma liberal dalam memberikan penafsirannya atas wacana-wacana yang berkembang dalam masyarakat.
Dalam merespon derasnya arus modernitas, Abdurrahman Wahid lebih banyak bersikap positif dan fleksibel. Bagi Abdurrahman Wahid, watak pluralistik dan multi-kommunal masyarakat Indonesia modern harus dihormati dan dipertahankan dari kecenderungan-kecenderungan sektarianistik. Fakta pada hampir semua realitas kekerasan yang terjadi di negeri ini lebih menonjolkan dimensi sektarian yang anti pluralitas.
Salah satu yang menonjol dari pemikiran Abdurrahman Wahid adalah kemampuannya untuk mengombinasikan apa yang terbaik di dalam nilai-nilai modernitas dan komitmennya terhadap rasionalitas dan keulamaan maupun kebudayaan tradisional.
Liberalisasi pemikiran Abdurrahman Wahid dapat terlihat secara jelas dalam berbagai bentuk gagasan besarnya, yang dianggap oleh banyak pengamat keluar dari jalur kelaziman, utamanya dari logika arus mainstream yang berkembang pada zamannya. Tidak berlebihan bila Hakim (1993:86) mengatakan bahwa cara untuk memahami pemikiran Abdurrahman Wahid adalah dengan tiga kata kunci, yaitu liberalisme, demokrasi dan universalisme.
a. Universalitas Nilai-Nilai kemanusiaan
Salah satu pemikiran Abdurrahman Wahid yang (paling) menonjol adalah komitmennya untuk mengeluarkan gagasan tentang perlunya ditegakkan kemanusiaan dalam masyarakat. Hal ini sebenarnya tampak dalam kesukannya pada musik, utamanya pada musik yang berisikan nilai-nilai perdamaian dan persaudaraan manusia.
Terlepas dari kegemaran tersebut, pandangan Abdurrahman Wahid tentang nilai kemanusiaan adalah penting untuk dikedepankan. Dalam keseluruhan konstelasi pemikiran Abdurrahman Wahid, pandangan tentang nilai ini telah menjadi titik tolak dalam menelusuri alur atau paradigma pemikirannya. Baginya, penghayatan atas nilai-nilai kemanusiaan adalah inti dari ajaran agama. Tanpa nilai-nilai tersebut, dunia hanya dipenuhi oleh berbagai bentuk kekerasan dan konflik sosial.
b. Makna Keadilan dalam Pluralitas Masyarakat
Abdurrahman Wahid, di samping terkenal dengan konsep humanisme universalnya, ia juga berusaha untuk mengedepankan nilai-nilai keadilan sosial di tengah masyarakat plural. Keadilan harus ditegakkan tanpa memandang etnisitas dan agama. Prinsip ini seolah sebagai kelanjutan dari visi humanisme yang dikembangkannya yang bersifat universal tanpa memandang sekat-sekat agama.
Abdurrahman Wahid sangat menginginkan dijunjung tingginya nilai dasar dalam membangun masyarakat, yaitu keadilan, persamaan dan demokrasi. Upaya menjunjung tinggi dasar tersebut adalah meninggalkan formalisasi agama di tengah-tengah masyarakat plural, sebagaimana yang terjadi di indonesia. Baginya, masyarakat seharusnya dirangsang untuk tidak terlalu memikirkan manifestasi simbolik dari agama dalam kehidupan, akan tetapi lebih mementingkan esensinya. Keadilan, baginya, adalah milik semua agama, dan harus ditegakkan oleh umat beragama.
c. Makna Kebudayaan dalam Pluralitas Masyarakat
Persoalan lain yang menjadi perhatian utama dalam pemikiran Gus Dur adalah perihal hubungan agama dan kebudayaan. Sebagaimana hubungan agama dan negara yang masih problematik, bagi Gus Dur dalam konteks ke-Indonesia-an, hubungan antara agama, negara, dan kebudayaan ternyata masih juga memunculkan masalah serius.
Pemikiran tentang relasi agama, negara dan kebudayaan merupakan salah satu perhatian utama pemikiran dan aksi politik Gus Dur, yang sama besarnya dengan persoalan lain. Berbagai problem kebudayaan yang seringkali hadir dalam realitas masyarakat selalu membuatnya gelisah, apalagi ketika problem tersebut dibenturkan dengan keyakinan agama serta diletakkan dalam rangka uniformitas kebudayaan.
Gus Dur memiliki suatu pandangan bahwa kebudayaan sebuah bangsa pada hakikatnya adalah kenyataan yang majemuk dan pluralistik. Penyeragaman atau sentralisasi kebudayaan (sebagaiman yang telah dipraktekkan oleh negara) merupakan suatu tindakan yang dianggapnya tidak berbudaya (Santoso :2004:118). Karenanya, sebuah entitas budaya yang berlingkup lebih luas, seperti kebudayaan sebuah bangsa, haruslah memiliki wajah pluralitas dan menghargai kemajemukan. Gagasannya terhadap persoalan ini adalah perlunya dikembangkan sebuah kebijaksanaan pengembangan desentralisasi kebudayaan.
d. Progresivitas Pemikiran Ke-Islam-an
Pada dasarnya pemikiran liberal dan liberalisasi pemikiran Gus Dur sudah diteliti, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Greg Barton adalah orang yang mungkin pertama kali melakukan penelitian atas pemikiran liberal Gus Dur, yang kemudian dituangkan dalam bukunya yang monumental ”the Emergence of Neo-modernisme A progressive, Liberal Movement of Islamic thought in Indonensia”. Greg Barton mengemukakan beberapa aspek liberal dalam pemikiran Gus Dur (Santoso :2004:124), baik yang menyangkut tentang kekuatan Islam Tradisional dan sistem pemerintahan, keberaniannya dalam mengatakan kelemahan Islam Tradisional di Indonesia, unsur-unsur dinamisasi pesantren sebagai kekuatan untuk menanggapi lahirnya tantangan moderenitas, pluralisme, maupun persoalan tentang humanitarianisme.
Liberaliasme pemikiran Gus Dur disadari merupakan gaya pikir divergen, yang menjelajah keluar dari cara-cara berpikir konvensional (seperti lazimnya) (Santoso, 2004:124). Gagasan dalam pemikirannya memang cenderung melompat-lompat, sehingga ritmenya sering dipahami tidak beraturan. Tapi mainstream utama yang dibidik adalah agar pemahaman dan pengetahuan keagamaan dan sikap politik umat tidak stagnan. Setiap bentuk pengetahuan dan pemahaman harus bisa dilihat secara kritis sehingga dapat memunculkan kritis atas hal tersebut.
Menurut Mujamil Qomar dalam Santoso (2004:125) bahwa Gus Dur adalah orang yang sangat yakin atas kesempurnaan Islam, tapi ia berbeda dengan pandangan ulama pada umumnya yang mengira bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan hidup sudah lengkap dibahas dalam Al-Quran.
Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara yang dilahirkan di Denanyar Jombang Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940. Secara genetik Gus Dur adalah keturunan "darah biru". Ayahnya, K.H. Wahid Hasyim adalah putra K.H. Hasyim Asy'ari, pendiri jam'iyah Nahdlatul Ulama (NU)-organisasi massa Islam terbesar di Indonesia-dan pendiri Pesantren Tebu Ireng Jombang. Ibundanya, Ny. Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pesantren Denanyar Jombang, K.H. Bisri Syamsuri. Kakek dari pihak ibunya ini juga merupakan tokoh NU, yang menjadi Rais 'Aam PBNU setelah K.H. Abdul Wahab Hasbullah. Dengan demikian, Gus Dur merupakan cucu dari dua ulama NU sekaligus, dan dua tokoh bangsa Indonesia. (Barton, 2000:26)
Dalam kesehariannya, Gus Dur mempunyai kegemaran membaca dan rajin memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya. Selain itu ia juga aktif berkunjung ke perpustakaan umum di Jakarta. Pada usia belasan tahun Gus Dur telah akrab dengan berbagai majalah, surat kabar, novel dan buku-buku yang agak serius. Karya-karya yang dibaca oleh Gus Dur tidak hanya cerita-cerita, utamanya cerita silat dan fiksi, akan tetapi wacana tentang filsafat dan dokumen-dokumen manca Negara tidak liput dari perhatiannya. Disamping membaca, tokoh satu ini senang pula bermain bola, catur dan musik. Dengan demikian tidak heran jika Gus Dur pernah diminta untuk menjadi komentator sepak bola di televisi. Kegemaran lainnya, yang ikut juga melengkapi hobinya adalah menonton bioskop. Kegemarannya ini menimbulkan apresiasi yang mendalam dalam dunia film. Inilah sebabnya mengapa Gus Dur pada tahun 1986-1987 diangkat sebagai ketua juri Festival Film Indonesia. (Biografi Gusdur, Profil Abdurrahman Wahid)
Disamping dikenal sebagai seorang budayawan, Gus Dur juga merupakan aktor politik yang handal, kecerdikan dan kepintaran Abdurrahman Wahid ini nampak dari cara ia berperan sebagai political player, Abdurrahman Wahid benar-benar telah menjadi seorang ad-Dakhil. Tidak mengherankan bila berbagai pengharaan telah diperolehnya. Di antaranya pernah menerima penghargaan sebagai Man of The Year 1990 oleh majalah Editor. Abdurrahman Wahid memperoleh penghargaan Magsaysay dari Philipina, lantaran dinilai telah berhasil memainkan peran penting sebagai integrator bangsa, membangkitkan semangat kerukunan antar umat beragama, dan mempunyai komitmen yang tinggi terhadap demokrasi.
![]() |
Gus Dur Waktu Muda |
Salim Said dalam Asmawi (1999:155) mengakui bahwa Gus Dur adalah politikus paling ulung. Sejak era 1990-an di Indonesia hanya ada dua politikus sejati, yakni Pak Harto dan Gus Dur. Kini setelah Soeharto tidak lagi terjun dalam politik praktis, tinggal Gus Dur, yang ia anggap politikus paling ulung.
Predikat sebagai political player ulung sebagaimana disebut di atas tentu tidak semuanya sependapat. Mengingat di masyarakat memang ada dikotomi dalam melihat sosok Abdurrahman wahid. Ada yang memandang dengan kagum, sebaliknya ada yang memandang dengan sinisme. Bahkan terkadang lebih dari itu, Abdurrahman wahid tidak jarang dinilai sebagai inkonsisten, sekedar tampil beda, munafik, agen zionis, anggota Partai Ba’ats (Irak), dan sebutan minor lainnya. Dikotomi penilaian ini tidak ada yang salah selama hal itu tetap dalam kerangka yang kritis dan proporsional, dengan selalu berusaha untuk mengedepankan obyektifitas.
Dianalogikan sebuah gunung, maka pendakian terhadapnya Abdurrahman wahid dengan segala manuver dan kontroversinya hendaklah ditempuh dengan banyak jalur. Saran ini tentu saja tidak berlebihan, mengingat tanpa melakukan pendakian dari berbagai jalur, yang akan terjadi adalah bias penglihatan.
Sebagai tokoh yang selalu bersikap kontroversi, ke-anehan dan kevokalannya, dengan selalu mengedepankan watak inklusifisme, dan komitmennya dalam upaya menciptakan budaya yang demokratis, apa yang dilakukan Abdurrahman Wahid selama ini tanpaknya menelorkan hasil. Pada tingkat internal warga nahdliyin misalnya, sekarang sudah tumbuh budaya keterbukaan (inklusif), budaya untuk saling menghargai, dan toleran (tasamuh) terhadap perbedaan pendapat, perbedaan agama yang memang ciri khas dari sikap kemasyarakatan Nu. Di samping itu tampilnya Gus Dur sebagai mantan PB-NU, telah mengubah lanskap sosiologis yang menempatkan NU dalam kelompok konservatif atau tradisionalis.
Sebelum dipimpin Gus Dur, citra NU yang menonjol adalah sebagai organisasi Islam yang ekslusif dari pengaruh pemikiran kontemporer yang berkembang, konservatif dalam pemahaman keagamaan, dan fundamentalis dalam memperjuangkan nilai-nilai kebenaran yang diyakininya. Hanya dalam tiga periode kepemimpinannya, dia berhasil mengubah citra NU menjadi inklusif, modern, dan moderat. Gus Dur juga sangat bersemangat dalam memperjuangkan nilai-nilai demokratis dalam kehidupan politik nasional, sementara kata orang, yang bersangkutan belum tentu demokrat dalam pergaulan sehari-hari. Ini mungkin berkaitan dengan tradisi pesantren, di mana posisi kiai tak dapat diganggu gugat dan tidak biasa dikritik.
Pandangan yang menyebut Abdurrahman Wahid sebagai pejuang demokrasi rasanya tidak berlebihan bila menengok sepak terjang dan pemikirannya yang sarat dengan nilai-nilai demokrasi dan penguatan akar civil society. Menurut Gus Dur Demokrasi adalah keadaan tertentu yang memiliki beberapa ciri, antara lain harus bertumpu pada kedaulatan hukum dan memberikan perlakuan yang sama pada semua warga negara di hadapan undang-undang. Ini harus ditunjang oleh kemerdekaan berbicara, kebebasan berpikir dan sikap menghormati pluralitas pandangan. Lebih jauh lagi, ia berarti keharusan memelihara dan melindungi hak-hak pihak minoritas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jadi semua hal itu mengacu kepada kepentingan umum yaitu kepentingan bersama sebagai bangsa dan negara. Dalam keadaan demokrasi itu berjalan sepenuhnya, orang tidak memiliki ketakutan akan berpendapat atau berkelakuan yang aneh-aneh. Kepentingan bangsa ditentukan oleh mayoritas pemberi suara dalam pemilihan umum yang diandaikan menjadi wahana “kedaulatan rakyat”. (www.gusdur.com)
Tokoh Islam yang sejak awal tidak mau bergabung dengan ICMI ini cendrung menempatkan perjuangan umat hanya sebagai bagian dari perjuangan untuk menciptakan kehidupan politik yang lebih demokratis di negeri ini. Menurutnya, yang terpenting sekarang ini adalah bagaimana mengokohkan mekanisme politik yang demokratis. Karena itu, ia tak pernah mempersoalkan tentang jumlah orang Islam yang duduk dalam pemerintahan maupun lembaga perwakilan (Afandi,1996:5)
Beberapa sepak terjangnya setidaknya menjadi cerminan dari pemikiran dan obsesinya untuk menciptakan dan membudayakan demokrasi di satu sisi dan terciptanya civil society yang kuat di sisi lain. Pertama, kasus pencabutan SIUPP Monitor 1990, lantaran polling yang menghebohkan yang dinilai melecehkan Rasulullah Muhammad. Di kata hampir semua ummat Islam mengecam dan menuntut dibrendelnya Monitor, Abdurrahman Wahid justru tampil “membela” dan mengecam keras pembredelan Monitor. Menurutnya dengan menuntut pembredelan Monitor, maka sama artinya memberikan otoritas dan membenarkan perilaku pemerintah ketika itu yang suka melakukan pembrendelan. “Pembelaan” nya terhadap Monitor bukan lantaran Abdurrahman wahid tidak marah atas polling Monitor, namun karena sikap ummat Islam yang terkesan mau main hakim sendiri, termasuk menuntut pencabutan SIUPP yang sama sekali tidak demokratis.
Kedua, kelahiran ICMI pada tahun 1990 menurut pandangan Abdurrahman Wahid sarat akan nuansa sektarian. Nuansa ini dalam banyak hal menurutnya cukup mengganggu kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Karenanya Abdurrahman wahid menolak kehadiran ICMI, termasuk ikatan-ikatan cendikiawan lainnya yang juga mengedepankan primodialisme keagamaan. Respon atas penolakannya ini, selain ditunjukkan dengan sikapnya yang tidak mau bergabung dengan ICMI, juga dengan mendirikan Forum Demokrasi.
Ketiga, pasca politik “sapu bersih” pemerintah dalam Peristiwa 27 Juli 1996. sesudah peristiwa berdarah ini, suara-suara kritis yang tadinya begitu keras, hilang seketika. Masyarakat juga dibuat ketakutan luar biasa. Dalam suasana mencekam ini, Abdurrahman wahid tampil dengan mendirikan “posko pengaduan” bagi mereka yang merasa kehilangan sanak keluarganya, mengalami kerugian fisik maupun harta benda. Gus Dur sendiri menjadi relawan dalam posko tersebut.
Dan keempat, pembelaannya terhadap kelompok minoritas. Pembelaan terhadap keluarga Kong Hu Chu dalam persidangannya di PTUN Surabaya, yang kebetulan perkawinannya tidak diakui pemerintah, lantaran mereka tetap bersikukuh hati untuk menggunakan agama mereka, kong Hu Chu, setidaknya menjadi bukti kepedulian Abdurrahman wahid pada kelompok minoritas.
Sepak terjang Abdurrahman wahid dalam menegakkan demokrasi ini tampaknya sangat dipengaruhi oleh pemikiran “liar”-nya yang selalu mengedepankan nilai-nilai inklusifisme, selalu berusaha untuk mengambil “jalan tengah” (moderat).
Abdurrahman Wahid mengartikan demokrasi sebagai kondisi di mana kebebasan berpendapat yang benar-benar dijamin undang-undang, sebab menurutnya, kebebasan merupakan salah satu esensi demokrasi. Adanya kebebasan untuk berorganisasi dan berserikat, adanya kebebasn berpegian, masuk, dan keluar negeri tanpa harus dikaitkan dengan masalah politik. Orang yang mengeritik pemerintah sekeras apapun, menurut Abdurrahman Wahid bukan merupakan alasan bagi pemerintah untuk melakukan “cekal”. (Abdurrahman Wahid dalam Murod, 1999:185).
Selain itu, menurut Gus Dur demokrasi juga mensyaratkan beberapa hal, yaitu : pertama rasa tanggung jawab pada kepentingan bersama, kedua, kemampuan menilik masa depan, dan ketiga, kesediaan berkorban bagi masa depan. Dan ini semua menurut Gus Dur membutuhkan adanya kerelaan, dan keinginan untuk melakukan sesuatu tanpa harus diberi imbalan karena “kerelaan” inilah sebenarnya hakekat dari demokrasi. Jadi demokrasi adalah sesuatu yang dilakukan dengan rela (dalam Murod, 1999:158).
Gagasan Gus Dur dalam Komunikasi politik
Pada dasarnya, gagasan besar Abdurrahman Wahid ldalam komunikasi politik lebih diletakkan pada upaya membangun pemikiran liberal mengenai agama, negara dan masyarakat. Gagasan-gagasan liberal terhadap persoalan tersebut merupakan konsekuensi logis dipilihnya paradigma liberal dalam memberikan penafsirannya atas wacana-wacana yang berkembang dalam masyarakat.
Dalam merespon derasnya arus modernitas, Abdurrahman Wahid lebih banyak bersikap positif dan fleksibel. Bagi Abdurrahman Wahid, watak pluralistik dan multi-kommunal masyarakat Indonesia modern harus dihormati dan dipertahankan dari kecenderungan-kecenderungan sektarianistik. Fakta pada hampir semua realitas kekerasan yang terjadi di negeri ini lebih menonjolkan dimensi sektarian yang anti pluralitas.
Salah satu yang menonjol dari pemikiran Abdurrahman Wahid adalah kemampuannya untuk mengombinasikan apa yang terbaik di dalam nilai-nilai modernitas dan komitmennya terhadap rasionalitas dan keulamaan maupun kebudayaan tradisional.
Liberalisasi pemikiran Abdurrahman Wahid dapat terlihat secara jelas dalam berbagai bentuk gagasan besarnya, yang dianggap oleh banyak pengamat keluar dari jalur kelaziman, utamanya dari logika arus mainstream yang berkembang pada zamannya. Tidak berlebihan bila Hakim (1993:86) mengatakan bahwa cara untuk memahami pemikiran Abdurrahman Wahid adalah dengan tiga kata kunci, yaitu liberalisme, demokrasi dan universalisme.
a. Universalitas Nilai-Nilai kemanusiaan
Salah satu pemikiran Abdurrahman Wahid yang (paling) menonjol adalah komitmennya untuk mengeluarkan gagasan tentang perlunya ditegakkan kemanusiaan dalam masyarakat. Hal ini sebenarnya tampak dalam kesukannya pada musik, utamanya pada musik yang berisikan nilai-nilai perdamaian dan persaudaraan manusia.
Terlepas dari kegemaran tersebut, pandangan Abdurrahman Wahid tentang nilai kemanusiaan adalah penting untuk dikedepankan. Dalam keseluruhan konstelasi pemikiran Abdurrahman Wahid, pandangan tentang nilai ini telah menjadi titik tolak dalam menelusuri alur atau paradigma pemikirannya. Baginya, penghayatan atas nilai-nilai kemanusiaan adalah inti dari ajaran agama. Tanpa nilai-nilai tersebut, dunia hanya dipenuhi oleh berbagai bentuk kekerasan dan konflik sosial.
b. Makna Keadilan dalam Pluralitas Masyarakat
Abdurrahman Wahid, di samping terkenal dengan konsep humanisme universalnya, ia juga berusaha untuk mengedepankan nilai-nilai keadilan sosial di tengah masyarakat plural. Keadilan harus ditegakkan tanpa memandang etnisitas dan agama. Prinsip ini seolah sebagai kelanjutan dari visi humanisme yang dikembangkannya yang bersifat universal tanpa memandang sekat-sekat agama.
Abdurrahman Wahid sangat menginginkan dijunjung tingginya nilai dasar dalam membangun masyarakat, yaitu keadilan, persamaan dan demokrasi. Upaya menjunjung tinggi dasar tersebut adalah meninggalkan formalisasi agama di tengah-tengah masyarakat plural, sebagaimana yang terjadi di indonesia. Baginya, masyarakat seharusnya dirangsang untuk tidak terlalu memikirkan manifestasi simbolik dari agama dalam kehidupan, akan tetapi lebih mementingkan esensinya. Keadilan, baginya, adalah milik semua agama, dan harus ditegakkan oleh umat beragama.
c. Makna Kebudayaan dalam Pluralitas Masyarakat
Persoalan lain yang menjadi perhatian utama dalam pemikiran Gus Dur adalah perihal hubungan agama dan kebudayaan. Sebagaimana hubungan agama dan negara yang masih problematik, bagi Gus Dur dalam konteks ke-Indonesia-an, hubungan antara agama, negara, dan kebudayaan ternyata masih juga memunculkan masalah serius.
Pemikiran tentang relasi agama, negara dan kebudayaan merupakan salah satu perhatian utama pemikiran dan aksi politik Gus Dur, yang sama besarnya dengan persoalan lain. Berbagai problem kebudayaan yang seringkali hadir dalam realitas masyarakat selalu membuatnya gelisah, apalagi ketika problem tersebut dibenturkan dengan keyakinan agama serta diletakkan dalam rangka uniformitas kebudayaan.
Gus Dur memiliki suatu pandangan bahwa kebudayaan sebuah bangsa pada hakikatnya adalah kenyataan yang majemuk dan pluralistik. Penyeragaman atau sentralisasi kebudayaan (sebagaiman yang telah dipraktekkan oleh negara) merupakan suatu tindakan yang dianggapnya tidak berbudaya (Santoso :2004:118). Karenanya, sebuah entitas budaya yang berlingkup lebih luas, seperti kebudayaan sebuah bangsa, haruslah memiliki wajah pluralitas dan menghargai kemajemukan. Gagasannya terhadap persoalan ini adalah perlunya dikembangkan sebuah kebijaksanaan pengembangan desentralisasi kebudayaan.
d. Progresivitas Pemikiran Ke-Islam-an
Pada dasarnya pemikiran liberal dan liberalisasi pemikiran Gus Dur sudah diteliti, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Greg Barton adalah orang yang mungkin pertama kali melakukan penelitian atas pemikiran liberal Gus Dur, yang kemudian dituangkan dalam bukunya yang monumental ”the Emergence of Neo-modernisme A progressive, Liberal Movement of Islamic thought in Indonensia”. Greg Barton mengemukakan beberapa aspek liberal dalam pemikiran Gus Dur (Santoso :2004:124), baik yang menyangkut tentang kekuatan Islam Tradisional dan sistem pemerintahan, keberaniannya dalam mengatakan kelemahan Islam Tradisional di Indonesia, unsur-unsur dinamisasi pesantren sebagai kekuatan untuk menanggapi lahirnya tantangan moderenitas, pluralisme, maupun persoalan tentang humanitarianisme.
Liberaliasme pemikiran Gus Dur disadari merupakan gaya pikir divergen, yang menjelajah keluar dari cara-cara berpikir konvensional (seperti lazimnya) (Santoso, 2004:124). Gagasan dalam pemikirannya memang cenderung melompat-lompat, sehingga ritmenya sering dipahami tidak beraturan. Tapi mainstream utama yang dibidik adalah agar pemahaman dan pengetahuan keagamaan dan sikap politik umat tidak stagnan. Setiap bentuk pengetahuan dan pemahaman harus bisa dilihat secara kritis sehingga dapat memunculkan kritis atas hal tersebut.
Menurut Mujamil Qomar dalam Santoso (2004:125) bahwa Gus Dur adalah orang yang sangat yakin atas kesempurnaan Islam, tapi ia berbeda dengan pandangan ulama pada umumnya yang mengira bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan hidup sudah lengkap dibahas dalam Al-Quran.
innalillah...Syaikh Said Ramadhan al-Buthi Wafat
Di poskan oleh
Unknown
di
Sabtu, April 20, 2013
Bom bunuh diri mengguncang sebuah masjid Eman di Damaskus, Suriah,
Kamis (21/3). Insiden itu menewaskan 41 orang tewas, termasuk ulama
Suni, Syekh Mohammad Said Ramadhan al-Buthi (84 tahun).
Al-Buthi terbunuh saat memberikan pelajaran agama kepada jama'ahnya di Masjid Jami' Al-Iman di pusat Mazraa, distrik Damaskus. Selain Al-Buthi, cucunya juga menjadi korban tewas dalam pengeboman itu. Kira-kira 84 orang terluka dalam insiden itu.
Pembunuhan itu merupakan pukulan besar bagi rezim presiden Suriah Bashar al-Assad. Tewasnya al-Buti semakin mengurangi pihak yang mendukung Assad. Al-Buti telah menjadi pendukung rezim pemerintah Suriah sejak ayah Assad, Hafez Assad berkuasa.
‘’Darah Syekh al-Buti akan menjadi api yang membakar seluruh dunia,’’ kata Mufti Ahmad Badreddine Hassoun yang juga loyalis Assad.
Belum ada pihak yang segera mengklaim bertanggung jawab atas serangan itu. Juru bicara oposisi Suriah Loay Maqdad mengaku Tentara Pembebasan Suriah (FSA) tidak melakukan serangan itu.
‘’Kami, FSA tidak bertanggung jawab untuk ledakan itu. Kami tidak melakukan serangan bom bunuh diri, dan kami tidak menargetkan masjid,’’ katanya kepada televisi Al Arabiya.
Sementara itu, juru bicara Badan Koordinasi Lokal Suriah, Murad As Syami, mengatakan kepada televisi Al Jazera melalui sambungan telefon, “Rezim Suriah Bashar Al Asad berada di balik pembunuhan ini, karena tidak ada seorang pun penentang rezim yang bisa memasuki wilayah pengeboman tersebut, mengingat penjagaan keamanan yang super ketat,” katanya seraya menambahkan bahwa rezim Bashar sengaja melakukan ini untuk memicu kekacauan di negara tersebut.
Diketahui bahwa Kawasan desa Mazra’ah, ibukota Damaskus, adalah kawasan yang steril dari mujahidin Islam dan mujahidin FSA. Pasukan rezim Assad menguasai sepenuhnya Masjid Jami’ Al-Iman di desa itu dan kawasan sekitarnya. Markas cabang Partai Sosialis Ba’tas juga berdiri tegak di desa itu.
Penjagaan super ketat dilakukan oleh pasukan rezim Assad. Siapa pun yang akan memasuki kawasan itu dan Masjid Al-Iman akan menjalani pemeriksaan sangat ketat dari pihak pasukan Assad. Tidak akan ada mujahid Islam atau mujahid FSA yang membawa bom bisa memasuki kawasan itu dan melakukan serangan bom dalam masjid.
Mujahidin Islam dan mujahidin FSA biasanya memberikan pernyataan sikap bertanggung jawab atas operasi-operasi serangan yang mereka lakukan. Dengan super ketatnya penjagaan, ketatnya pemeriksaan identitas, dan tidak adanya pernyataan bertanggung jawab mujahidin Islam atau mujahidin FSA atas tewasnya Syaikh al-Buthi, sangat mungkin beliau dibunuh oleh pasukan rezim Assad sendiri, karena peranannya untuk membela rezim Suriah sudah tidak signifikan lagi. Dengan membunuh Syaikh al-Buthi, rezim Assad bisa menuding mujahidin Islam dan mujahidin FSA sebagai teroris yang memiliki kaitan dengan Al-Qaeda. Dan juga terdapat beberapa kejanggalan terjadi seperti yang ditampilkan oleh an-najah.
Al Buthi adalah ulama terkemuka di Suriah dan sangat dikenal hangat oleh kaum muslimin di Indonesia. Beliau juga dikenal sebagai seorang ulama yang berhak untuk berjtihad. Al-Buthi lebih dikenal sebagai tokoh ulama dibanding tokoh pergerakan. Buku-buku karya Al-Buthi banyak beredar di Indonesia dan karyanya banyak menjadi rujukan. Beliau telah menulis tidak kurang dari 40 buku dalam bidang kesusasteraan, falsafah, sosiologi dan keagamaan. Pada tahun 1965 Syeikh Ramadhan Al Buthi menjadi pengajar kemudian menjadi dekan Fakultas Syari’ah di Universitas Damaskus dan menjadi Khatib Masjid Al Umawi. Dan tahun 2012 beliau menjadi ketua Ikatan Ulama Bilad As Syam.
Al-Buthi terbunuh saat memberikan pelajaran agama kepada jama'ahnya di Masjid Jami' Al-Iman di pusat Mazraa, distrik Damaskus. Selain Al-Buthi, cucunya juga menjadi korban tewas dalam pengeboman itu. Kira-kira 84 orang terluka dalam insiden itu.
Pembunuhan itu merupakan pukulan besar bagi rezim presiden Suriah Bashar al-Assad. Tewasnya al-Buti semakin mengurangi pihak yang mendukung Assad. Al-Buti telah menjadi pendukung rezim pemerintah Suriah sejak ayah Assad, Hafez Assad berkuasa.
‘’Darah Syekh al-Buti akan menjadi api yang membakar seluruh dunia,’’ kata Mufti Ahmad Badreddine Hassoun yang juga loyalis Assad.
Belum ada pihak yang segera mengklaim bertanggung jawab atas serangan itu. Juru bicara oposisi Suriah Loay Maqdad mengaku Tentara Pembebasan Suriah (FSA) tidak melakukan serangan itu.
‘’Kami, FSA tidak bertanggung jawab untuk ledakan itu. Kami tidak melakukan serangan bom bunuh diri, dan kami tidak menargetkan masjid,’’ katanya kepada televisi Al Arabiya.
Sementara itu, juru bicara Badan Koordinasi Lokal Suriah, Murad As Syami, mengatakan kepada televisi Al Jazera melalui sambungan telefon, “Rezim Suriah Bashar Al Asad berada di balik pembunuhan ini, karena tidak ada seorang pun penentang rezim yang bisa memasuki wilayah pengeboman tersebut, mengingat penjagaan keamanan yang super ketat,” katanya seraya menambahkan bahwa rezim Bashar sengaja melakukan ini untuk memicu kekacauan di negara tersebut.
Diketahui bahwa Kawasan desa Mazra’ah, ibukota Damaskus, adalah kawasan yang steril dari mujahidin Islam dan mujahidin FSA. Pasukan rezim Assad menguasai sepenuhnya Masjid Jami’ Al-Iman di desa itu dan kawasan sekitarnya. Markas cabang Partai Sosialis Ba’tas juga berdiri tegak di desa itu.
Penjagaan super ketat dilakukan oleh pasukan rezim Assad. Siapa pun yang akan memasuki kawasan itu dan Masjid Al-Iman akan menjalani pemeriksaan sangat ketat dari pihak pasukan Assad. Tidak akan ada mujahid Islam atau mujahid FSA yang membawa bom bisa memasuki kawasan itu dan melakukan serangan bom dalam masjid.
Mujahidin Islam dan mujahidin FSA biasanya memberikan pernyataan sikap bertanggung jawab atas operasi-operasi serangan yang mereka lakukan. Dengan super ketatnya penjagaan, ketatnya pemeriksaan identitas, dan tidak adanya pernyataan bertanggung jawab mujahidin Islam atau mujahidin FSA atas tewasnya Syaikh al-Buthi, sangat mungkin beliau dibunuh oleh pasukan rezim Assad sendiri, karena peranannya untuk membela rezim Suriah sudah tidak signifikan lagi. Dengan membunuh Syaikh al-Buthi, rezim Assad bisa menuding mujahidin Islam dan mujahidin FSA sebagai teroris yang memiliki kaitan dengan Al-Qaeda. Dan juga terdapat beberapa kejanggalan terjadi seperti yang ditampilkan oleh an-najah.
Al Buthi adalah ulama terkemuka di Suriah dan sangat dikenal hangat oleh kaum muslimin di Indonesia. Beliau juga dikenal sebagai seorang ulama yang berhak untuk berjtihad. Al-Buthi lebih dikenal sebagai tokoh ulama dibanding tokoh pergerakan. Buku-buku karya Al-Buthi banyak beredar di Indonesia dan karyanya banyak menjadi rujukan. Beliau telah menulis tidak kurang dari 40 buku dalam bidang kesusasteraan, falsafah, sosiologi dan keagamaan. Pada tahun 1965 Syeikh Ramadhan Al Buthi menjadi pengajar kemudian menjadi dekan Fakultas Syari’ah di Universitas Damaskus dan menjadi Khatib Masjid Al Umawi. Dan tahun 2012 beliau menjadi ketua Ikatan Ulama Bilad As Syam.
Sang Pemberani Membela Kebenaran: Biografi KH. Abdul Kholiq Hasyim
Di poskan oleh
Unknown
di
Sabtu, April 20, 2013
KH. Abdul Kholiq Hasyim, Pengasuh Pesantren Tebuireng ke-5 yang
memimpin selama 13 tahun, sejak 1952-1965. Beliau cukup disegani
masyarakat, karena selain alim dalam fikih dan tasawuf, beliau juga
memiliki ilmu kanuragan yang cukup tinggi. Sehingga dengan ilmunya
itulah beliau maju dan bertempur melawan kolonial Belanda.
Ketika kecil namanya adalah Abdul Hafidz, kemudian berganti menjadi Abdul Kholiq. Beliau adalah putra keenam dari pasangan Hadratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy'ari dengan Nyai Nafiqah yang lahir pada tahun 1916. Sejak kecil kelebihan Gus Hafidz atau Gus Kholiq ini sudah mulai tampak. Ketika ada tamu ayahnya yang datang dengan mobil misalnya, Gus Kholiq menekan ringan bodi mobil tersebut dengan jarinya. Anehnya seketika itu bagian yang dipencetnya penyok, padahal terbuat dari besi baja yang keras. Suatu ketika, sang ayah pernah menghukumnya. Gus Kholiq diikat di sebuah pohon sawo dan diberi kelangrang (semut merah ganas). Namun semut-semut itu hanya lewat begitu saja dan tidak mau menggigit tubuh Gus Hafidz. Hadratus Syaikh merasa ada kelebihan dengan anaknya yang satu ini. Hingga akhirnya, selain dididik ilmu agama seperti saudaranya yang lain, Gus Kholiq juga diajari ilmu-ilmu spiritual oleh sang ayah.
Ketika beranjak dewasa, Abdul Kholiq melanjutkan pendidikannya ke Pondok Pesantren Sekar Putih, Nganjuk. Lalu dilanjutkan menuju Pesantren Kasingan, Rembang (kota pesisir laut Utara). Di sana beliau belajar kepada Kiai Kholil bin Harun yang terkenal sebagai pakar nahwu, bahkan sampai dijuluki Imam Sibawaih zamanihi. Konon, ketika menjadi santri di Rembang, Gus Kholiq pernah ditemui Nabi Khidir AS. Belum puas dengan ilmu yang diperolehnya, beliau melanjutkan studinya ke Pesantren Kajen, Juwono, Pati, Jawa Tengah.
Pada tahun 1936, dalam usia 20 tahun, Abdul Kholiq pergi ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji. Di sana ia bermukim selama empat tahun sambil memperdalam ilmu pengetahuan. Salah seorang gurunya bernama Syekh Ali al-Maliki al-Murtadha.
Pada tahun 1939, Abdul Kholiq pulang ke tanah air. Setahun kemudian, ia menikah dengan salah seorang keponakan Kiai Baidhawi yang bernama Siti Azzah. Pada tahun 1942, Kiai Kholiq dikaruniai anak laki-laki yang diberi nama Abdul Hakam.
Melawan Penjajah
Sejak kecil keluarga Hadratus Syaikhsudah dididik cinta tanah air. Hingga tak heran ketika besar, keluarga Tebuireng betul-betul memiliki jiwa nasionalisme yang sangat tinggi. Nyai Nafiqah sering menceritakan kekejaman para penjajah terhadap bangsa Indonesia dan kesewenang-wenangan mereka atas kaum muslimin serta tindakan-tindakan keji mereka terhadap para kiai. Beliau senantiasa bercerita, “Dulu yang musuhi ayah, mbah dan para kiai itu adalah Belanda. ”Maka dengan perlahan jiwa membela tanah air telah tertancap kedalam jiwa Gus Kholiq. Sejak itu terukirlah dalam hatinya rasa benci yang sangat mendalam terhadap kolonial Belanda. Hal itu terbukti dengan pukulan yang ia hadiahkan kepada seorang pegawai Pabrik Gula Cukir berkebangsaan Belanda karena melakukan perbuatan yang tidak seharusnya.
Selama masa revolusi fisik, Kiai Kholiq aktif berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan RI. Tahun 1944, atau satu tahun sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI, Kiai Kholiq masuk dalam dinas ketentaraan nasional dan masuk dalam anggota PETA. Kiai Kholiq merupakan orang dekat Jenderal Sudirman bersama kakaknya, Kiai Wahid Hasyim.
Kiai Kholiq mengundurkan diri dari militer pada tahun 1952 dengan pangkat terakhir Letnan Kolonel (Letkol), kemudian pergi ke Makkah guna menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya.
Pada masa penjajahan, Kiai Kholiq pernah ditahan oleh tentara Belanda tanpa alasan yang jelas. Beliau hendak dijatuhi hukuman mati. Keluarga dan santri Tebuireng cemas dibuatnya. Pada detik-detik terakhir menjelang eksekusi, Kiai Kholiq meminta waktu kepada algojo untuk salat dua rakaat. Seusai salat, Kiai Kholiq mengangkat tangan berdoa kepada Allah. Anehnya, setelah itu pihak Belanda menyatakan bahwa Kiai Kholiq tidak jadi dihukum mati.
Ketika Presiden Soekarno menjatuhkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Kiai Kholiq sebagai anggota Konstituante, menentang dengan keras. Dalam pandangannya, jalan musyawarah dan diplomasi masih bisa dilanjutkan. Kiai Kholiq mendapat teguran keras atas penentangannya itu, sehingga partai yang didirikannya dibubarkan. Kiai Kholiq kemudian keluar dari politik.
Mengasuh Tebuireng sejak awal kepemimpinannya, Kiai Kholiq banyak melakukan pembenahan pada sistem pendidikan dan pengajaran kitab kuning, yang pada tahun-tahun sebelumnya digantikan dengan sistem klasikal. Langkah pertama yang diambilnya ialah meminta bantuan kakak iparnya, Kiai Idris Kamali, untuk mengajar di Tebuireng. Kiai Idris diminta untuk mengajarkan kembali kitab-kitab kuning guna mempertahankan sistem salaf, serta melakukan revitalisasi sistem pengajaran.
Madrasah yang telah dirintis oleh para pendahulunya tetap dipertahankan. Saat itu Madrasah Tebuireng terdiri dari tiga jenjang, yakni Ibtidaiyah (SD), Tsanawiyah (SL TP), dan Mu'allimin. Kurikulumnya 70% ilmu agama dan 30% ilmu umum. Pada masa ini pula, Madrasah Nidzamiyah yang dulunya didirikan oleh Kiai Wahid, berganti nama menjadi Madrasah Salafiyah Syafi'iyah.
Selain terkenal memiliki karomah tinggi, Kiai Kholiq juga memiliki kebiasaan mengoleksi kitab-kitab syair berbahasa Arab (semacam antologi). Hal ini dapat dilihat dari kitab-kitab peninggalannya yang masih tersimpan rapi di Perpustakaan Tebuireng.
Wafat
Bulan Juni 1965, atau tiga bulan sebelum meletusnya pemberontakan G.30.S/PKI, Kiai Kholiq menderita sakit selama beberapa hari. Semua keluarga dan santri Tebuireng cemas dibuatnya. Mereka semua mengharap kesembuhan sang pengasuh. Namun untung tak dapat diraih, malang tak dapat dihadang. Beberapa hari setelah itu, Kiai Kholiq menghembuskan nafasnya yang terakhir. Inna liLlahi wa inna ilayhi raji'un. Tebuireng pun berduka.
Sebagaimana keluarga lainnya, jenazah Kiai Kholiq dimakamkan di komplek pemakaman keluarga Pesantren Tebuireng, sebelah barat masjid. Ribuan peta'ziyah dari berbagai kalangan hadir mengantar ke peristirahatan terakhir. Semoga Allah SWT memberikan tempat terbaik di sisi-Nya dan segala yang beliau rintis bermanfaat bagi generasi selanjutnya. Amin.
Ketika kecil namanya adalah Abdul Hafidz, kemudian berganti menjadi Abdul Kholiq. Beliau adalah putra keenam dari pasangan Hadratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy'ari dengan Nyai Nafiqah yang lahir pada tahun 1916. Sejak kecil kelebihan Gus Hafidz atau Gus Kholiq ini sudah mulai tampak. Ketika ada tamu ayahnya yang datang dengan mobil misalnya, Gus Kholiq menekan ringan bodi mobil tersebut dengan jarinya. Anehnya seketika itu bagian yang dipencetnya penyok, padahal terbuat dari besi baja yang keras. Suatu ketika, sang ayah pernah menghukumnya. Gus Kholiq diikat di sebuah pohon sawo dan diberi kelangrang (semut merah ganas). Namun semut-semut itu hanya lewat begitu saja dan tidak mau menggigit tubuh Gus Hafidz. Hadratus Syaikh merasa ada kelebihan dengan anaknya yang satu ini. Hingga akhirnya, selain dididik ilmu agama seperti saudaranya yang lain, Gus Kholiq juga diajari ilmu-ilmu spiritual oleh sang ayah.
Ketika beranjak dewasa, Abdul Kholiq melanjutkan pendidikannya ke Pondok Pesantren Sekar Putih, Nganjuk. Lalu dilanjutkan menuju Pesantren Kasingan, Rembang (kota pesisir laut Utara). Di sana beliau belajar kepada Kiai Kholil bin Harun yang terkenal sebagai pakar nahwu, bahkan sampai dijuluki Imam Sibawaih zamanihi. Konon, ketika menjadi santri di Rembang, Gus Kholiq pernah ditemui Nabi Khidir AS. Belum puas dengan ilmu yang diperolehnya, beliau melanjutkan studinya ke Pesantren Kajen, Juwono, Pati, Jawa Tengah.
Pada tahun 1936, dalam usia 20 tahun, Abdul Kholiq pergi ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji. Di sana ia bermukim selama empat tahun sambil memperdalam ilmu pengetahuan. Salah seorang gurunya bernama Syekh Ali al-Maliki al-Murtadha.
Pada tahun 1939, Abdul Kholiq pulang ke tanah air. Setahun kemudian, ia menikah dengan salah seorang keponakan Kiai Baidhawi yang bernama Siti Azzah. Pada tahun 1942, Kiai Kholiq dikaruniai anak laki-laki yang diberi nama Abdul Hakam.
Melawan Penjajah
Sejak kecil keluarga Hadratus Syaikhsudah dididik cinta tanah air. Hingga tak heran ketika besar, keluarga Tebuireng betul-betul memiliki jiwa nasionalisme yang sangat tinggi. Nyai Nafiqah sering menceritakan kekejaman para penjajah terhadap bangsa Indonesia dan kesewenang-wenangan mereka atas kaum muslimin serta tindakan-tindakan keji mereka terhadap para kiai. Beliau senantiasa bercerita, “Dulu yang musuhi ayah, mbah dan para kiai itu adalah Belanda. ”Maka dengan perlahan jiwa membela tanah air telah tertancap kedalam jiwa Gus Kholiq. Sejak itu terukirlah dalam hatinya rasa benci yang sangat mendalam terhadap kolonial Belanda. Hal itu terbukti dengan pukulan yang ia hadiahkan kepada seorang pegawai Pabrik Gula Cukir berkebangsaan Belanda karena melakukan perbuatan yang tidak seharusnya.
Selama masa revolusi fisik, Kiai Kholiq aktif berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan RI. Tahun 1944, atau satu tahun sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI, Kiai Kholiq masuk dalam dinas ketentaraan nasional dan masuk dalam anggota PETA. Kiai Kholiq merupakan orang dekat Jenderal Sudirman bersama kakaknya, Kiai Wahid Hasyim.
Kiai Kholiq mengundurkan diri dari militer pada tahun 1952 dengan pangkat terakhir Letnan Kolonel (Letkol), kemudian pergi ke Makkah guna menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya.
Pada masa penjajahan, Kiai Kholiq pernah ditahan oleh tentara Belanda tanpa alasan yang jelas. Beliau hendak dijatuhi hukuman mati. Keluarga dan santri Tebuireng cemas dibuatnya. Pada detik-detik terakhir menjelang eksekusi, Kiai Kholiq meminta waktu kepada algojo untuk salat dua rakaat. Seusai salat, Kiai Kholiq mengangkat tangan berdoa kepada Allah. Anehnya, setelah itu pihak Belanda menyatakan bahwa Kiai Kholiq tidak jadi dihukum mati.
Ketika Presiden Soekarno menjatuhkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Kiai Kholiq sebagai anggota Konstituante, menentang dengan keras. Dalam pandangannya, jalan musyawarah dan diplomasi masih bisa dilanjutkan. Kiai Kholiq mendapat teguran keras atas penentangannya itu, sehingga partai yang didirikannya dibubarkan. Kiai Kholiq kemudian keluar dari politik.
Mengasuh Tebuireng sejak awal kepemimpinannya, Kiai Kholiq banyak melakukan pembenahan pada sistem pendidikan dan pengajaran kitab kuning, yang pada tahun-tahun sebelumnya digantikan dengan sistem klasikal. Langkah pertama yang diambilnya ialah meminta bantuan kakak iparnya, Kiai Idris Kamali, untuk mengajar di Tebuireng. Kiai Idris diminta untuk mengajarkan kembali kitab-kitab kuning guna mempertahankan sistem salaf, serta melakukan revitalisasi sistem pengajaran.
Madrasah yang telah dirintis oleh para pendahulunya tetap dipertahankan. Saat itu Madrasah Tebuireng terdiri dari tiga jenjang, yakni Ibtidaiyah (SD), Tsanawiyah (SL TP), dan Mu'allimin. Kurikulumnya 70% ilmu agama dan 30% ilmu umum. Pada masa ini pula, Madrasah Nidzamiyah yang dulunya didirikan oleh Kiai Wahid, berganti nama menjadi Madrasah Salafiyah Syafi'iyah.
Selain terkenal memiliki karomah tinggi, Kiai Kholiq juga memiliki kebiasaan mengoleksi kitab-kitab syair berbahasa Arab (semacam antologi). Hal ini dapat dilihat dari kitab-kitab peninggalannya yang masih tersimpan rapi di Perpustakaan Tebuireng.
Wafat
Bulan Juni 1965, atau tiga bulan sebelum meletusnya pemberontakan G.30.S/PKI, Kiai Kholiq menderita sakit selama beberapa hari. Semua keluarga dan santri Tebuireng cemas dibuatnya. Mereka semua mengharap kesembuhan sang pengasuh. Namun untung tak dapat diraih, malang tak dapat dihadang. Beberapa hari setelah itu, Kiai Kholiq menghembuskan nafasnya yang terakhir. Inna liLlahi wa inna ilayhi raji'un. Tebuireng pun berduka.
Sebagaimana keluarga lainnya, jenazah Kiai Kholiq dimakamkan di komplek pemakaman keluarga Pesantren Tebuireng, sebelah barat masjid. Ribuan peta'ziyah dari berbagai kalangan hadir mengantar ke peristirahatan terakhir. Semoga Allah SWT memberikan tempat terbaik di sisi-Nya dan segala yang beliau rintis bermanfaat bagi generasi selanjutnya. Amin.
wanita tidak mau HAID
Di poskan oleh
Unknown
di
Sabtu, April 20, 2013
Assalamu'alaikum Wr Wb, Bapak Profesor
yang saya hormati. Setelah berkembangnya zaman, dunia medis sekarang mempunyai
obat yang bisa menahan keluarnya darah haid bagi perempuan, biasanya wanita
memakai obat ini bertujuan agar dapat menunaikan ibadah haji dengan sempurna
ataupun menjalankan ibadah puasa dengan sempurna. Lantas bagaimanakah hukum
memakai obat tersebut menurut fiqih?
(Ayu Puspita
: Mojokerto)
Jawaban :
Wa'alaikumussalam Wr. Wb., Mbak Ayu yang
hormati. Haid (menstruasi) adalah bagian dari kodrat perempuan dan
ketentuan
Allah SWT yang pasti ada manfaat dan hikmahnya bagi permpuan itu
sendiri. Tentang detail manfaat dan hikmah haid tentu menjadi wilayah
kewenangan dan
otoritas intelektual para dokter spesialis kandungan. Rasulullah SAW
dalam
hadis shahih yang diriwayatkan oleh al-Buklhariy dan Muslim menyatakan
(yang
maknanya): Ini (haid) merupakan ketentuan Allah SWT yang ditetapkan bagi
anak-anak wanita Adam.
Terhadap perempuan yang sedang haid
diberikan beberapa kemudahan dan perkecualian, yaitu: tidak usah mengerjakan
shalat wajib dan tidak perlu mengqadla'nya (menggantinya); tidak boleh
mengerjakan puasa tetapi harus mengqadla'nya. Dalam hadis shahih yang
diriwayatkan oleh al-Jama'ah (mayoritas ahli hadis) dari 'Aisyah RA, berkata
(yang maknanya): Dahulu pada zaman Rasulullah, jika kami haid diperintahkan
mengqadla' puasa, tetapi tidak diperintahkan mengqadla shalat. Perempuan
yang sedang haid juga tidak boleh disetubuhi (al-Baqarah ayat 222), tidak boleh
masuk dan diam di masjid (hadis riwayat Abu Dawud), tidak boleh membaca dan
menyentuh/membawa mushaf al-Qur'an (hadis riwayat at-Turmudziy dan Ibnu Majah),
tidak boleh diceraikan (surat at-Thalaq ayat 1 dan hadis riwayat al-Jama'ah
kecuali al-Bukhariy) dan tidak boleh thawaf (hadis riwayat al-Bukhariy dan
Muslim).
Zaman sekarang, dunia medis menawarkan
obat untuk menahan keluarnya darah haid bagi perempuan, sehingga mereka dapat
menunaikan ibadah haji dengan sempurna dan melaksanakan puasa Ramadan sebulan
penuh tanpa harus mengqadla'nya. Dalam hal ini Syaikh Mar'i al-Maqdisiy, Syaikh
Ibrahim bin Muhammad (keduanya ahli fiqih madzhab Hanbali) dan Syaikh Yusuf
al-Qardlawiy (ahli fiqih kontemporer) berpendapat, bahwa perempuan yang
mengkhawatirkan puasa atau hajinya tidak sempurna, maka dia boleh menggunakan
obat untuk menunda haidnya. Alasan mereka adalah karena perempuan itu sulit
mengqadla' puasanya atau menyempurnakan hajinya, sedangkan nas (dalil) untuk
melarang penundaan haid itu tidak ada. Apalagi sampai saat ini tidak ada temuan
medis, bahwa obat penundaan haid itu dapat menimbulkan bahaya bagi pemakainya.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam sidang
Komisi Fatwa tahun 1984 menetapkan, bahwa:
Penggunaan pil antihaid untuk kesempurnaan
haji, hukumnya adalah mubah (boleh)
Penggunaan pil antihaid dengan maksud agar
dapat menyempurnakan puasa Ramadan sebulan penuh, pada dasarnya makruh (tidak
disukai). Tetapi bagi perempuan yang mengalami kesulitan untuk mengqadla'
puasanya yang tertinggal di hari lain, maka hukumnya adalah mubah
(boleh)Penggunaan pil antihaid selain dari dua ibadah tersebut di atas,
tergantung pada niatnya. Apabila untuk perbuatan yang menjurus pada pelanggaran
hukum agama maka hukumnya haram.
Ulama sepakat menyatakan , bahwa penundaan
haid dengan menggunakan obat antihaid selain untuk ibadah haji dan puasa tidak
dibenarkan. Demikan juga
untuk shalat, karena shalat yang tertinggal selama haid tidak perlu diqadla'.
Hal ini sesuai hadis 'Aisyah yang diriwayatkan oleh al-Jamaah menyatakan (yang
maknanya): Dahulu pada zaman Rasulullah, jika kami haid diperintahkan
mengqadla' puasa, tetapi tidak diperintahkan mengqadla shalat.
Mengenai perempuan yang tidak mau haid
sama sekali, dengan cara minum obat antihaid atau cara apapun lainnya, menuruit
saya, haram hukumnya dengan alasan:
Menyalahi fitrah dan kodrat diri sebagai
perempuan yang berarti mengubah ciptaan Allah SWT secara permanen. Allah SWT
mengecam keras upanya mengubah ciptaan secara permanen (berdasar makna surat
an-Nisa 119): Dan aku (syetan) benar-benar akan menyesatkan mereka, akan
membangkintkan angan-angan kosong pada mereka, akan menyuruh mereka (memotong
telinga binatang ternak) lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku
suruh mereka (mengubah ciptaan Allah SWT) lalu benar-benar mereka mengubahnya.
Barangsiapa yang menjadikan syetan menjadi pelindung selain Allah SWT, maka
sungguh menderita kerugian yang nyata.
Walaupun saya belum tahu apa sudah ada
penelitian medis tentang bahaya perempuan yang menahan darah haidnya dalam
waktu lama apa belum, tapi berdasar keyakinan , bahwa pelanggaran terhadap
fitrah itu pasti berakibat negatif dan membahayakan diri, maka penundaan haid
secara permanen pasti berbahaya bagi kesehatan perempuan yang bersangkutan.
Oleh karena itu perbuatan ini pasti dilarang dalam Islam sesuai firman Allah
SWT dalam surat al-Baqarah 195 (yang maknanya): Dan belanjakanlah (hartamu)
di jalan Allah SWT, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam
kehancuran. Berbuat baiklah, karena sungguh Allah SWT menyukai orang-orang yang
berbuat baik. Demikian pula sabda Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Ahmad dan
Ibnu Majah (yang maknanya): Siapapun tidak boleh berbuat apapun yang
membahayakan diri sendiri maupun orang lain.
Kesimpulan:
Haid adalah fitrah perempuan yang telah
ditetapkan Allah SWT yang pasti ada manfaat dan hikmahnya.Perempuan yang sedang
haid mendapat beberapa kemudahan dan perkecualian, yaitu: tidak usah
mengerjakan shalat wajib dan tidak perlu mengqadla'nya (menggantinya); tidak
boleh mengerjakan puasa tetapi harus mengqadla'nya; tidak boleh disetubuhi;
tidak boleh masuk dan diam di masjid; tidak boleh membaca dan menyentuh/membawa
mushaf al-Qur'an; tidak boleh diceraikan dan tidak boleh thawaf.Perempuan yang
mengkhawatirkan puasa atau hajinya tidak sempurna, maka dia boleh menggunakan obat
untuk menunda haidnya.
Ulama sepakat menyatakan , bahwa penundaan
haid dengan menggunakan obat antihaid selain untuk ibadah haji dan puasa tidak
dibenarkan.
Perempuan yang tidak mau haid sama sekali
(penundaan haid secara permanen), dengan cara minum obat antihaid atau cara
apapun, hukumnya haram karena menyalahi fitrah dan kodrat diri sebagai
perempuan yang berarti mengubah ciptaan Allah SWT secara permanen. Pelanggaran
terhadap fitrah itu pasti berakibat negatif dan membahayakan diri, maka pasti
berbahaya bagi kesehatan perempuan yang bersangkutan. Wallaahu a'lam.
Menuju Satu Umat: Potensi dan Kendalanya
Di poskan oleh
Unknown
di
Sabtu, April 20, 2013
Sebenarnya sudah cukup banyak tulisan yang membahas tentang masalah
kesatuan umat ini. Sayangnya, hingga kini tetap tak kunjung ada upaya
untuk mewujudkannya. Barangkali, ibarat resep hanya dibaca, tetapi
obatnya sendiri tidak pernah diminum. Mungkin juga karena wujud Ummatan
wahidah (kesatuan umat) yang dikehendaki itu tidak pernah jelas.
Secara harfiyah, Ummatan wahidah itu berarti umat yang satu, atau satu umat. Atau dengan istilah lebih longgar, kesatuan umat. Nah, satu umat itu secara fisik atau ide? Kalau secara fisik, tentu sangat sulit mewujudkannya, lebih-lebih dalam dunia yang makin kompleks ini. Berbicara tentang satu umat Islam di Indonesia saja, tetapi harus juga melibatkan umat Islam di dunia. Kalau secara ide, bukankah umat Islam telah satu ide dan satu tujuan dalam banyak hal?
Secara normatif, baik Al-Qur'an maupun Hadist banyak sekali berbicara mengenai Ummatan Wahidah dan Ukhwah Islamiyah. Dalam Al-Qur'an, antara lain disebutkan: “Sesungguhnya, ini adalah umatmu semua, umat yang satu”.(QS. Al Anbiya:92). Dalam ayat lain disebutkan: “Sesungguhnya, orang orang mukmin itru bersaudara karena itu berbaik-baiklah diantara saudaramu”(QS. Al Hujarat: 10).
Apa yang dimaksud dengan “umat yang yang satu” adalah sama dalam pokok-pokok keprcayaan dan syari'at. Oleh karena itu,
pembicaraan mengenai penyatuan umat dalam pokok kepercayaan dan syari'at tak relevan lagi. Hal terpenting untuk dibicarakan adalah bagaimana umat mempunyai pokok kepercayaan dan syari'at yang sama itu mempunyai tujuan dan kepedulian (concern) yang sama pula. Cara mencapai tujuan dan kepedulian itu sama aja berbeda, asal tak melupakan tujuan dan kepedulian yang sama itu.
Kalau umat yang satu itu berarti mewadahi umat dalam satu wadah itu tidak realistis. Lebih baik kalau kita berbicara bagaimana menggalang berbagai kelompok dan aliran yang ada dalam Islam lalu dijadikan sebagai satu potensi. Paling tidak, ada dua cara yang bisa ditempuh, yakni: membina dan menigkatkan interdepedensi antar sesama muslim dan antarkelompok dan aliran Islam. Membina interdependensi berarti menjaga keseimbangan antara dependansi (ketergantungan) dan kompetensi (persaingan).
Soal dependensi, Nabi Muhammad pernah bersabda: “Seorang muslim dengan muslim yang lain itu bagaikan bangunan yang saling
menguatkan.” Dengan demikian, tidak mungkin yang satu mengabaikan, apalagi menafikan (meniadakan) yang lain. Sedangkan kompetensi, Allah berfirman: “Berlomba-lombalah dalam kebaikan dan takwa”. Dua hal ini (dependensi dan kompetensi) sangatlah penting. Kalau kita hanya mementingkan dependensi mungkin akan tercipta kesatuan, tetapi eksploitasi terhadap pihak yang tergantung juga sulit dihindarkan. Selain itu, akan mengakibatkan juga kemujudan. Sedangkan mementingkan kompetensi belaka, bisa menjurus ke arah persaingan yang tidak sehat. Kalau sudah begini, jangan harap kesatuan akan terwujud.
Lebih dari itu perlu juga umat Islam menejemen masing-masing organisasi yang ada. Berbicara menejemen tentu bukan hanya berbicara mengenai bagaimana mengelola organisasi, tetapi juga bagaimana bekerja sama dengan pihak lain. Pengalaman selama ini menujukan bahwa kita bekerjasama dengan sesama Islam. Sebenarnya umat Islam bisa duduk satu meja untuk merencanakan apa
yang bisa dikerjakan bersama, membagi tugas dan kerja sesuai spesifikasi dan potensi masing-masing, serta kemudian mengevaluasi program bersama itu.
Perlu diakui, tidak mudah melakukan dua hal tersebut, ada banyak kendala untuk mewujudkan, antara lain:
Pertama, sikap arogan yang ada pada masing masing orang Islam dan kelompok serta aliran. Masing-masing membanggakan diri dengan apa yang ada pada dirinya. Masing-masing merasa paling banyak berbuat dan paling banyak berjasa bagi kehidupan. Dari sikap ini muncul rasa gengsi untuk bekerjasama dengan pihak lain karena pihak lain dianggap belum banyak berbuat dan berjasa bagi kehidupan, sehingga tidak setara untuk bekerja sama. Sikap seperti ini sampai sekarang masih merasuki sebagian umat Islam dan kelompok atau aliran Islam. Padahal, dalam al Qur'an Allah mecela sikap seperti ini: Kemudian mereka menjadikan mereka terpecah menjadi beberapa bagin. Tiap golongan merasa bangga dengan apa dengan apa yang ada pada diri mereka. Maka, biarkanlah mereka dalam kesesatan sampai batas waktu tertentu. (QS. Al Mukminun:53-54.)
Kedua, sikap muthlak-muthlakan dan merasa paling benar. Seperti halnya sikap arogan, sikap ini juga masih banyak menghinggapi kalangan umat Islam hingga sekarang. Merasa paling benar dan yang lain dipandang salah. Sikap ini mula-mula berkembang dalam masalah ushuludin dan ubudiyah, namun lama-lama berkembang ke masalah-masalah mu'amalah dan duniawiyah yang lain. Dalam Al Qur'an, Allah juga mencela sikap seperti ini: “Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang menganggap dirinya bersih?”. (QS. An Nisa:49).
Ketiga, sikap curiga dan berburuk sangka kapada pihak lain. Selalu mencurigai pihak lain adalah sikap dan perbuatan yang tidak baik. Oleh karena itu, tidak perlu bekerja sama dengan pihak lain.
Keempat, semakin berkembangnya individualisme. Ini berakibat dari industrialisasi. Menurut Futurology Alfin Toffer, ciri masyarakat industri antara lain adalah wewenang keputusan berada pada pemilik modal, masyarakat adalah perpanjangan dari mesin, dan acuannya bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok (fisik), tapi juga rasa aman dan afilisasi sosial. Dengan ciri yang demikian, tentu membawa masyarakat yang berbeda dengan masyarakat yang agraris, termasuk dalam keagamaan.
Duyfendak mengemukakan beberapa kemungkinan perubahan akibat proses industrialisasi, antara lain: 1. Perubahan sifat masyarakat, dari masyarakat gotong royong, guyub, menjadi masyarakat individualistis, 2. Perubahan asas-asas masyarakat, dari masyarakat yang agamis menjadi masyarakat yang profan. Masyarakat individualis hanya mementingkan diri sendiri dan tak mau tahu urusan orang lain. Tentu tak menguntungkan bagi penggalangan Ummatan Wahidah melalui peningkatan interpendensi dan manajemen, sebagaimana diuraikan tadi.
Faktor Pendukung
Untuk menuju Ummatan Wahidah melalui peningkatan interpendensi dan manajemen maka hal-hal yang menjadi kendala diatas harus tereliminasi. Sikap arogansi, muthlak-muthlakan, saling curiga, dan individualistis harus dikikis habis. Etos Al- Qur'an jangan hanya menjadi slogan! Selama ini kita bicara soal perlunya mengedepankan etos Al-Qur'an, tetapi tindakan kita selalu mengedepankan etos kelompok
Penggalangan Ummatan wahidah bisa terwujud apabila ada beberapa faktor pendukung, antara lain:
1. Faktor pendidikan. Saat ini rata-rata tingkat pendidikan masyarakat kita semakin tinggi. Selain itu, bidang pendidikan saranajuga semakin beragam. Anak-anak dari kalangan NU dan Muhammadiyah, misalnya, kini sama-sama belajar di sekolah umum. Di lain kasus, anak-anak dari kalangan NU belajar disekolah Muhammadiyah, dan anak-anak Muhammadiyah juga belajar di pesantren. Ini sangat membantu membuka cakrawala berfikir umat Islam dan mengeleminir sikap arogansi, muthlak-muthlakan, dan saling curiga. Dulu karena anak-anak dari kalangan NU hanya belajar di pesantren, dan anak-anak Muhammadiyah hanya belajar di lembaga pendidikan Muhammadiyah, wajar kalau timbul sikap ekslusif.
2. Sikap terbuka dari berbagai kalangan Islam. Ini juga antara lain tentu berkat pendidikan juga. Sekarang ini, NU dan Muhammadiyah misalnya, sudah melakukan program bersama tanpa menyinggung masalah-masalah khilafiyah yang selama ini dipertengkarkan. Hanya saja, kerja sama itu perlu ditingkatkan lagi dimasa-masa mendatang.
3. Silaturrahmi yang semakin lancar. Munculnya sikap saling curiga itu antara lain karena tidak adanya komunikasi dan dialog antara sesama orang Islam dan kelompok/aliran Islam. Sekarang ini, sarana- sarana komunikasi semakin lancar. Sesama muslim bisa lebih gampang dan sering bertemu. Ini merupakan awal yang baik bagi terbentuknya interdependensi sesama muslim dan kelompok/aliran Islam.
Demikianlah pokok-pokok pikiran yang bisa saya sampaikan dalam tulisan singkat ini. Semoga dapat menjadi stimulan bagi umat Islam untuk menunjukan potensinya yang besar yang diperoleh dari kekuatan mereka lantaran bersatu padu. Tanpa kesatuan dalam menggalang potensi umat di masa kini dan mendatang akan mustahil Islam akan jaya dan memiliki kekuatan untuk memberdayakan para pemeluknya.
*)Tulisan ini pernah dimuat di tabloid “WARTA NU” Nomor 19/Tahun V/September 1989/Muharam 1410.
Awalnya, tulisan ini berasal dari makalah yang disampaikan oleh penulisnya
dalam Seminar Nasional Sehari di Universitas Muhammadiyah Surabaya, Juli 1989.
Secara harfiyah, Ummatan wahidah itu berarti umat yang satu, atau satu umat. Atau dengan istilah lebih longgar, kesatuan umat. Nah, satu umat itu secara fisik atau ide? Kalau secara fisik, tentu sangat sulit mewujudkannya, lebih-lebih dalam dunia yang makin kompleks ini. Berbicara tentang satu umat Islam di Indonesia saja, tetapi harus juga melibatkan umat Islam di dunia. Kalau secara ide, bukankah umat Islam telah satu ide dan satu tujuan dalam banyak hal?
Secara normatif, baik Al-Qur'an maupun Hadist banyak sekali berbicara mengenai Ummatan Wahidah dan Ukhwah Islamiyah. Dalam Al-Qur'an, antara lain disebutkan: “Sesungguhnya, ini adalah umatmu semua, umat yang satu”.(QS. Al Anbiya:92). Dalam ayat lain disebutkan: “Sesungguhnya, orang orang mukmin itru bersaudara karena itu berbaik-baiklah diantara saudaramu”(QS. Al Hujarat: 10).
Apa yang dimaksud dengan “umat yang yang satu” adalah sama dalam pokok-pokok keprcayaan dan syari'at. Oleh karena itu,
pembicaraan mengenai penyatuan umat dalam pokok kepercayaan dan syari'at tak relevan lagi. Hal terpenting untuk dibicarakan adalah bagaimana umat mempunyai pokok kepercayaan dan syari'at yang sama itu mempunyai tujuan dan kepedulian (concern) yang sama pula. Cara mencapai tujuan dan kepedulian itu sama aja berbeda, asal tak melupakan tujuan dan kepedulian yang sama itu.
Kalau umat yang satu itu berarti mewadahi umat dalam satu wadah itu tidak realistis. Lebih baik kalau kita berbicara bagaimana menggalang berbagai kelompok dan aliran yang ada dalam Islam lalu dijadikan sebagai satu potensi. Paling tidak, ada dua cara yang bisa ditempuh, yakni: membina dan menigkatkan interdepedensi antar sesama muslim dan antarkelompok dan aliran Islam. Membina interdependensi berarti menjaga keseimbangan antara dependansi (ketergantungan) dan kompetensi (persaingan).
Soal dependensi, Nabi Muhammad pernah bersabda: “Seorang muslim dengan muslim yang lain itu bagaikan bangunan yang saling
menguatkan.” Dengan demikian, tidak mungkin yang satu mengabaikan, apalagi menafikan (meniadakan) yang lain. Sedangkan kompetensi, Allah berfirman: “Berlomba-lombalah dalam kebaikan dan takwa”. Dua hal ini (dependensi dan kompetensi) sangatlah penting. Kalau kita hanya mementingkan dependensi mungkin akan tercipta kesatuan, tetapi eksploitasi terhadap pihak yang tergantung juga sulit dihindarkan. Selain itu, akan mengakibatkan juga kemujudan. Sedangkan mementingkan kompetensi belaka, bisa menjurus ke arah persaingan yang tidak sehat. Kalau sudah begini, jangan harap kesatuan akan terwujud.
Lebih dari itu perlu juga umat Islam menejemen masing-masing organisasi yang ada. Berbicara menejemen tentu bukan hanya berbicara mengenai bagaimana mengelola organisasi, tetapi juga bagaimana bekerja sama dengan pihak lain. Pengalaman selama ini menujukan bahwa kita bekerjasama dengan sesama Islam. Sebenarnya umat Islam bisa duduk satu meja untuk merencanakan apa
yang bisa dikerjakan bersama, membagi tugas dan kerja sesuai spesifikasi dan potensi masing-masing, serta kemudian mengevaluasi program bersama itu.
Perlu diakui, tidak mudah melakukan dua hal tersebut, ada banyak kendala untuk mewujudkan, antara lain:
Pertama, sikap arogan yang ada pada masing masing orang Islam dan kelompok serta aliran. Masing-masing membanggakan diri dengan apa yang ada pada dirinya. Masing-masing merasa paling banyak berbuat dan paling banyak berjasa bagi kehidupan. Dari sikap ini muncul rasa gengsi untuk bekerjasama dengan pihak lain karena pihak lain dianggap belum banyak berbuat dan berjasa bagi kehidupan, sehingga tidak setara untuk bekerja sama. Sikap seperti ini sampai sekarang masih merasuki sebagian umat Islam dan kelompok atau aliran Islam. Padahal, dalam al Qur'an Allah mecela sikap seperti ini: Kemudian mereka menjadikan mereka terpecah menjadi beberapa bagin. Tiap golongan merasa bangga dengan apa dengan apa yang ada pada diri mereka. Maka, biarkanlah mereka dalam kesesatan sampai batas waktu tertentu. (QS. Al Mukminun:53-54.)
Kedua, sikap muthlak-muthlakan dan merasa paling benar. Seperti halnya sikap arogan, sikap ini juga masih banyak menghinggapi kalangan umat Islam hingga sekarang. Merasa paling benar dan yang lain dipandang salah. Sikap ini mula-mula berkembang dalam masalah ushuludin dan ubudiyah, namun lama-lama berkembang ke masalah-masalah mu'amalah dan duniawiyah yang lain. Dalam Al Qur'an, Allah juga mencela sikap seperti ini: “Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang menganggap dirinya bersih?”. (QS. An Nisa:49).
Ketiga, sikap curiga dan berburuk sangka kapada pihak lain. Selalu mencurigai pihak lain adalah sikap dan perbuatan yang tidak baik. Oleh karena itu, tidak perlu bekerja sama dengan pihak lain.
Keempat, semakin berkembangnya individualisme. Ini berakibat dari industrialisasi. Menurut Futurology Alfin Toffer, ciri masyarakat industri antara lain adalah wewenang keputusan berada pada pemilik modal, masyarakat adalah perpanjangan dari mesin, dan acuannya bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok (fisik), tapi juga rasa aman dan afilisasi sosial. Dengan ciri yang demikian, tentu membawa masyarakat yang berbeda dengan masyarakat yang agraris, termasuk dalam keagamaan.
Duyfendak mengemukakan beberapa kemungkinan perubahan akibat proses industrialisasi, antara lain: 1. Perubahan sifat masyarakat, dari masyarakat gotong royong, guyub, menjadi masyarakat individualistis, 2. Perubahan asas-asas masyarakat, dari masyarakat yang agamis menjadi masyarakat yang profan. Masyarakat individualis hanya mementingkan diri sendiri dan tak mau tahu urusan orang lain. Tentu tak menguntungkan bagi penggalangan Ummatan Wahidah melalui peningkatan interpendensi dan manajemen, sebagaimana diuraikan tadi.
Faktor Pendukung
Untuk menuju Ummatan Wahidah melalui peningkatan interpendensi dan manajemen maka hal-hal yang menjadi kendala diatas harus tereliminasi. Sikap arogansi, muthlak-muthlakan, saling curiga, dan individualistis harus dikikis habis. Etos Al- Qur'an jangan hanya menjadi slogan! Selama ini kita bicara soal perlunya mengedepankan etos Al-Qur'an, tetapi tindakan kita selalu mengedepankan etos kelompok
Penggalangan Ummatan wahidah bisa terwujud apabila ada beberapa faktor pendukung, antara lain:
1. Faktor pendidikan. Saat ini rata-rata tingkat pendidikan masyarakat kita semakin tinggi. Selain itu, bidang pendidikan saranajuga semakin beragam. Anak-anak dari kalangan NU dan Muhammadiyah, misalnya, kini sama-sama belajar di sekolah umum. Di lain kasus, anak-anak dari kalangan NU belajar disekolah Muhammadiyah, dan anak-anak Muhammadiyah juga belajar di pesantren. Ini sangat membantu membuka cakrawala berfikir umat Islam dan mengeleminir sikap arogansi, muthlak-muthlakan, dan saling curiga. Dulu karena anak-anak dari kalangan NU hanya belajar di pesantren, dan anak-anak Muhammadiyah hanya belajar di lembaga pendidikan Muhammadiyah, wajar kalau timbul sikap ekslusif.
2. Sikap terbuka dari berbagai kalangan Islam. Ini juga antara lain tentu berkat pendidikan juga. Sekarang ini, NU dan Muhammadiyah misalnya, sudah melakukan program bersama tanpa menyinggung masalah-masalah khilafiyah yang selama ini dipertengkarkan. Hanya saja, kerja sama itu perlu ditingkatkan lagi dimasa-masa mendatang.
3. Silaturrahmi yang semakin lancar. Munculnya sikap saling curiga itu antara lain karena tidak adanya komunikasi dan dialog antara sesama orang Islam dan kelompok/aliran Islam. Sekarang ini, sarana- sarana komunikasi semakin lancar. Sesama muslim bisa lebih gampang dan sering bertemu. Ini merupakan awal yang baik bagi terbentuknya interdependensi sesama muslim dan kelompok/aliran Islam.
Demikianlah pokok-pokok pikiran yang bisa saya sampaikan dalam tulisan singkat ini. Semoga dapat menjadi stimulan bagi umat Islam untuk menunjukan potensinya yang besar yang diperoleh dari kekuatan mereka lantaran bersatu padu. Tanpa kesatuan dalam menggalang potensi umat di masa kini dan mendatang akan mustahil Islam akan jaya dan memiliki kekuatan untuk memberdayakan para pemeluknya.
*)Tulisan ini pernah dimuat di tabloid “WARTA NU” Nomor 19/Tahun V/September 1989/Muharam 1410.
Awalnya, tulisan ini berasal dari makalah yang disampaikan oleh penulisnya
dalam Seminar Nasional Sehari di Universitas Muhammadiyah Surabaya, Juli 1989.
Hukum Mengucapkan Selamat Natal
Di poskan oleh
Unknown
di
Sabtu, April 20, 2013
Pertanyaan: Banyak
Kontroversi seputar mengucapkan Selamat Natal kepada umat Kristiani.
Mohon kiranya Ustadz dapat menjelaskan hukum bagi seseorang yang
mengucapkan ucapan tersebut. Jika terjadi ikhtilaf mohon dijabarkan juga dasar-dasarnya. Terima kasih
Jawaban:
Terdapat perbedaan pendapat seputar
hukum mengucapkan selamat Natal. Perbedaan tersebut mengerucut kepada
satu hal; apakah ucapan selamat Natal termasuk kategori akidah
(keyakinan) atau muamalah (pergaulan)? Jika dikategorikan akidah,
berarti ucapan itu merupakan doa dan kerelaan atas agama orang lain.
Bila dikategorikan muamalah, maka ucapan tersebut justru dianjurkan
karena merupakan wujud toleransi yang dijunjung tinggi oleh Islam.
Yang mengharamkan
Ulama yang mengharamkan (seperti Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Syeikh Ibn Baz, Shalih al-Utsaimin, Ibrahim bin Muhammad al-Huqail, dll) berlandaskan pada ayat:
Ulama yang mengharamkan (seperti Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Syeikh Ibn Baz, Shalih al-Utsaimin, Ibrahim bin Muhammad al-Huqail, dll) berlandaskan pada ayat:
إِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ وَلَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ وَإِنْ تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ
Artinya : "Jika kamu kafir, maka
sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai
kekafiran hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai
kesyukuranmu." (QS. Az Zumar : 7). Menurut golongan pertama ini,
mengucapkan selamat Natal termasuk kategori rela terhadap kekufuran.
Dalil lainnya adalah sabda Rasulullah SAW:
خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَوْفُوا اللِّحَى
"Bedakanlah dirimu dari orang-orang
musyrik, panjangkanlah jenggot dan cukurlah kumis." (HR. Al-Bukhari dan
Muslim dari Ibn Umar ra)
Juga Hadits Nabi SAW:
« مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ ».
"Siapa yang meniru suatu kaum maka ia adalah bagian dari mereka." (HR. Abu Dawud dai Ibnu Umar ra).
Intinya, golongan pertama ini juga
menganggap hari raya sebagai syi'ar agama. Mengucapkan selamat hari raya
berarti mengakui "kebenaran" agama tersebut. Padahal, menurut mereka,
setiap umat memiliki hari besarnya masing-masing. Dan umat Kristiani
menjadikan Natal sebagai hari besarnya. Sementara Islam sudah memiliki
dua hari raya sendiri.
Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra.,
"Ketika Nabi SAW tiba di Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari
raya yang mereka bersenang-senang di dalamnya. Lalu beliau bertanya,
"Dua hari apa ini?" Mereka menjawab, "Dua hari yang kami bermain-main di
dalamnya pada masa Jahiliyah." Maka Nabi SAW bersabda, "Sesungguhnya
Allah telah mengganti untuk kalian dua hari tersebut dengan Idul Adha
dan Idul Fitri." (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Nabi SAW juga pernah bersabda kepada Abu
Bakar ra., "Hai Abu Bakar, setiap kaum memiliki hari raya, dan inilah
hari raya kita." (HR. Bukhari).
Alasan lainnya adalah Sadd Al-Dzarî'ah
atau memutus akses menuju hal-hal yang dilarang. Mengucapkan selamat
Natal merupakan "jalan" menuju hal-hal yang terlarang itu.
Yang membolehkan
Syeikh Yusuf Al-Qardhawi mengatakan bahwa mengucapkan selamat justru merupakan kebaikan (al-birr), sebagaimana firman Allah SWT:
Syeikh Yusuf Al-Qardhawi mengatakan bahwa mengucapkan selamat justru merupakan kebaikan (al-birr), sebagaimana firman Allah SWT:
لايَنْهَاكُمُ
اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ
يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Artinya: Allah tidak melarang kamu untuk
berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada
memerangimu dan tidak (pula) mengusirmu dari negerimu. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (QS. Al-Mumtahanah, 8)
Kebolehan memberikan ucapan selamat juga berlaku jika orang Kristen yang memberikan ucapan selamat kepada kita. Allah berfirman:
وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا
Artinya: Apabila kamu diberi
penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik,
atau balaslah dengan penghormatan yang serupa. Sesungguhnya Allah
memperhitungankan segala sesuatu. (QS. An-Nisa': 86)
Musthafa Ahmad az-Zarqa' menyatakan
bahwa tidak ada dalil yang secara tegas melarang seorang Muslim
mengucapkan selamat hari raya kepada orang kafir. Beliau mengutip hadits
yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah berdiri menghormati
jenazah Yahudi. Penghormatan ini tidak ada kaitannya dengan pengakuan
atas kebenaran agama yang dianutnya. Sehingga ucapan selamat kepada umat
Kristiani tidak terkait dengan pengakuan atas kebenaran keyakinan
mereka, melainkan hanya bagian dari mujamalah (saling berbuat baik) dan
muhasanah (sopan-santun) kepada teman yang berbeda agama.
Selain itu, sikap Islam terhadap
penganut agama monotheis (Yahudi dan Kristen) jauh lebih lunak daripada
kepada kaum Musyrikin penyembah berhala. Bahkan al-Quran menghalalkan
makanan serta wanita ahli kitab untuk dinikahi (al-Maidah: 5). Dan salah
satu konsekuensi pernikahan adalah menjaga hubungan dengan pasangan,
termasuk bertukar ucapan 'selamat'.
Dalam sebuah riwayat disebutkan, seorang
Majusi mengucapkan salam kepada Ibnu Abbas "assalamualaikum", dan Ibnu
Abbas menjawab "waalaikumussalam wa rahmatullah". Kemudian sebagian
sahabatnya bertanya, "dan rahmat Allah?". Ibnu Abbas menjawab: "Bukankah
mereka hidup itu merupakan bukti mendapat rahmat Allah Swt?."
Intinya, ucapan selamat Natal adalah
bagian dari masalah sosial (muamalah, non-ritual). Dalam Ushul Fiqh
disebutkan, bahwa semua tindakan non-ritual adalah dibolehkan, kecuali
ada dalil yang melarang. Dan menurut golongan kedua ini, tidak ada satu
ayat Al Quran atau hadits pun yang secara eksplisit melarang mengucapkan
selamat kepada orang non-muslim. Ini merupakan pendapat Ibnu Mas'ud,
Abu Umamah, Ibnu Abbas, Al-Auza'i, An-Nakha'i, At-Thabari, dll.
Yang mengklasifikasi (Tafsil)
Selain dua pandangan di atas, ada juga ulama yang tidak mengharamkan secara mutlak dan tidak membolehkan secara mutlak. Pendapat ketiga ini memilah antara ucapan yang haram dan ucapan yang bisa ditolelir.
1. Ucapan yang halal adalah ucapan yang tidak mengandung hal-hal yang bertentangan dengan syariah. Seperti, "Semoga Tuhan memberi petunjukNya kepada Anda."
2. Ucapan yang haram adalah ucapan yang mengandung hal-hal yang bertentangan dengan syariah. Seperti, "Semoga Tuhan memberkati dan menyelamatkan Anda sekeluarga."
Selain dua pandangan di atas, ada juga ulama yang tidak mengharamkan secara mutlak dan tidak membolehkan secara mutlak. Pendapat ketiga ini memilah antara ucapan yang haram dan ucapan yang bisa ditolelir.
1. Ucapan yang halal adalah ucapan yang tidak mengandung hal-hal yang bertentangan dengan syariah. Seperti, "Semoga Tuhan memberi petunjukNya kepada Anda."
2. Ucapan yang haram adalah ucapan yang mengandung hal-hal yang bertentangan dengan syariah. Seperti, "Semoga Tuhan memberkati dan menyelamatkan Anda sekeluarga."
Golongan ketiga ini juga membedakan
antara ucapan selamat Natal karena terpaksa, dengan yang tidak terpaksa.
Jika seorang Muslim berada di lingkungan Mayoritas Nasrani, seperti di
Ambon, Papua, atau negara-negara Eropa dan Amerika; atau pegawai yang
bekerja kepada orang Nasrani, siswa di sekolah Nasrani, pebisnis yang
sangat tergantung dengan kolega Nasrani, maka boleh mengucapan selamat
Hari Natal kepada orang-orang Nasrani yang ada di sekitarnya.
Ucapan selamat itu harus dibarengi unsur keterpaksaan dalam hati (inkar bil qalbi) serta diiringi istighfar.
Di antara kondisi terpaksa seperti: pegawai muslim yang tidak mengucapkan Selamat Natal karirnya dihambat atau dikurangi hak-haknya. Atau siswa muslim yang tidak memberikan ucapan Selamat Natal akan ditekan nilainya, diperlakukan tidak adil, dikurangi hak-haknya. Atau seorang muslim yang tinggal di daerah/negara non muslim jika tidak memberikan Selamat Hari Natal kepada tetangga Nasrani akan mendapatkan tekanan sosial dan sebagainya.
Di antara kondisi terpaksa seperti: pegawai muslim yang tidak mengucapkan Selamat Natal karirnya dihambat atau dikurangi hak-haknya. Atau siswa muslim yang tidak memberikan ucapan Selamat Natal akan ditekan nilainya, diperlakukan tidak adil, dikurangi hak-haknya. Atau seorang muslim yang tinggal di daerah/negara non muslim jika tidak memberikan Selamat Hari Natal kepada tetangga Nasrani akan mendapatkan tekanan sosial dan sebagainya.
Pendapat ini berdasarkan kepada firman Allah swt sbb:
مَنْ
كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ
مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا
فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Artinya: "Barangsiapa yang kafir kepada
Allah sesudah ia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang
yang terpaksa, padahal hatinya tetap tenang keimanan. Akan tetapi orang
yang menerima kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya
azab yang besar". (QS. Al-Nahl, 106).
Jika kondisi tidak memaksa dan tidak ada
pengaruh sama sekali terhadap karir, jabatan, hak-hak, atau perlakuan
orang-orang Nasrani sekelilingnya, maka tidak diperbolehkan baginya
mengucapkan Selamat Natal.
Kita ikut yang mana?
Menurut kami, pendapat ketiga ini lebih kuat karena menetapkan hukum sesuai dengan situasi dan kondisi. Pertama, persoalan hukum yang bersifat ijtihadi (debatable dan tidak ada dalil secara langsung), maka keputusannya tidak boleh "hitam" dan "putih", tanpa mempertimbangkan situasi dan kondisi yang mengitarinya. Ini merupakan prinsip Ushul Fiqh.
Menurut kami, pendapat ketiga ini lebih kuat karena menetapkan hukum sesuai dengan situasi dan kondisi. Pertama, persoalan hukum yang bersifat ijtihadi (debatable dan tidak ada dalil secara langsung), maka keputusannya tidak boleh "hitam" dan "putih", tanpa mempertimbangkan situasi dan kondisi yang mengitarinya. Ini merupakan prinsip Ushul Fiqh.
Kedua, dalam kaidah fiqh ditegaskan
bahwa: keluar dari kungkungan khilaf (perbedaan pendapat) merupakan
anjuran syariat. Artinya, jika kita berpegang pada pendapat yang
mengharamkan saja, berarti kita menafikan pendapat yang menganjurkan;
dan begitu sebaliknya. Maka pendapat ketiga (yang mempertimbangkan sikon
dengan hukum yang berbeda), adalah solusi agar kita keluar dari
kungkungan khilaf tersebut. Wallahu a'lam.
30 Pemain Sepakbola Muslim di Liga Inggris Musim 2012-2013
Di poskan oleh
Unknown
di
Sabtu, April 20, 2013
Anda penggemar Liga Inggris. Siapa yang tidak? Kita tentu mengenal beberapa tim terkenal negara asal Pangeran Charles ini. Beberapa diantaranya adalah Manchester United, Chelsea, Arsenal, Tottenham Hotspurs, Liverpool, Manchester City dan banyak lagi.
Namun tahukah anda siapa pesepakbola Muslim yang bermain di Liga Inggris. Mungkin anda mengenal beberapa nama yang bermain di tim besar seperti Samir Nasri, Kolo Toure, Yaya Toure di Manchester City. Namun di tim lain ada tidak. Berikut ini hasil tangkapan tim tentang beberapa nama pesepakbola beragama Islam yang bermain di Liga Inggris.
Arsenal
Bacary Sagna - Belakang - Prancis
Vassiriki (Abou) Diaby - Tengah - Prancis
Marouane Chamakh - Depan - Maroko
Aston Villa
Karim El Ahmadi - Tengah - Maroko
Chelsea
Demba Ba - Depan - Senagal
Fulham
Mahamadou Diarra - Tengah - Mali
Kerim Frei - Tengah - Austria
Liverpool
Oussama Assaidi - Depan - Maroko
Samed Yesil - Depan - Jerman
Manchester City
Kolo Toure - Belakang - Pantai Gading
Samir Nasri - Tengah - Prancis
Yaya Toure - Tengah - Pantai Gading
Edin Dzeko - Depan - Bosnia
Newcastle Utd
Hatem Ben Arfa - Tengah - Prancis
Cheick Tiote - Tengah - Pantai Gading
Mehdi Abeid - Tengah - Prancis
Papiss Cisse - Depan - Senegal
Queens Park Rangers
Armand Traore - Belakang - Prancis
Samba Diakite - Tengah - Prancis
Adel Taarabt - Tengah - Maroko
Stoke City
Mamady Sidibe - Depan - Mali
Tottenham Hotspur
Younes Kaboul - Belakang - Prancis
Moussa Dembele - Depan - Belgia
West Bromwich Albion
Youssouf Mulumbu - Tengah - Kongo
Yassine El Ghanassy - Tengah - Belgia
West Ham United
Mohamed Diame - Tengah - Prancis
Alou Diarra - Tengah - Prancis
Modibo Maiga - Depan - Mali
Wigan Athletic
Ali Al Habsi - Kiper - Oma
Pesan-Pesan K.H. Hasyim Asy'ari
Di poskan oleh
Unknown
di
Sabtu, April 20, 2013
Bismillahirrahmanirrahim
Dari yang serendah-rendahnya umat,
bahkan orang paling tidak berharga ialah Muhammad Hasyim Asy’ari, semoga
Allah swt. mengampuni keturunannya dan seluruh umat muslim. Kepada
teman-teman yang mulia dari penduduk tanah Jawa dan sekitarnya, baik
ULAMA maupun MASYARAKAT UMUM…
Kepada saudaraku yang mulya kaum Muslimin, demikian juga para ulama dan orang-orang yang masih awam.
Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.
Sesudah saya mengucapkan salam, telah
sampai berita kepada saya bahwa saat ini di antara saudara-saudara masih
berkobar bara fitnah dan pertikaian. Lalu saya merenungkan apakah yang
menjadi penyebab fitnah dan persilihan itu karena umat di zaman sekaran
gini telah berani mengganti dan merubah kitab Allah swt. dan Hadis
Rasulullah saw.
Allah swt. berfirman,

Keadaan umat sekarang ini menganggap
bahwa saudaranya mukmin sebagai musuh dan tidak mau memperbaiki bahkan
merusak persaudaraan. Rasulullah saw. bersabda: “Janganlah kalian
saling menebar iri dengki, jangan kalian saling membenci dan jangan
saling bermusuhan. Jadilah kalian bersaudara wahai hamba-hamba Allah
swt.”
Sementara masyarakat zaman sekarang
saling iri dengki, saling membenci, saling bersaing (dalam urusan
dunia)/saling berebut dan bermusuhan.
Wahai para ulama yang fanatik terhadab
sebagian madzhab dan pendapat (ulama madzhab), tinggalkanlah fanatik
kalian terhadap urusan-urusan far’iyyah (tidak fundamental), yang di
dalamnya, para ulama masih menawarkan dua pendapat, yakni pendapat yang
mengatakan bahwa, “Setiap mujtahid (niscaya) benar.” Serta pendapat yang mengatakan, “Mujtahid yang benar (pasti hanya) satu, namun mujtahid yang salah tetap mendapat pahala.”
Tinggalkanlah fanatik kalian! Dan
tinggalkanlah jurang yang akan merusak kalian! Lakukanlah pembelaan
terhadap agama Islam! Berjuanglah kalian untuk menangkis orang-orang
yang mencoba melukai Al-Quran dan Sifat-sifat Allah swt. berjuanglah
kalian untuk menolak orang-orang yang berilmu sesat dan akidah yang
merusak. Jihad untuk menolak mereka adalh wajib. Dan sibukkanlah diri
kalian untuk senantiasa berjihad melawan mereka.
Maka marilah saudaraku, kita sekalian mengorbankan diri untuk melaksanakan kewajiban yang demikian.
Syiir Tanpo Waton Karya Besar dari Kyai Tarekat
Di poskan oleh
Unknown
di
Sabtu, April 20, 2013
Sebuah Refleksi Tentang Kehidupan Kekinian Yang Menyejukan
Sudah beberapa
tahun ini gelegar Syiir Tanpo Waton terdengar mengumandang di setiap sudut
sudut musholla maupun di tempat-tempat peribadatan Islam lainnya, tak hanya itu
mungkin ribuah bahkan jutaan umat Islam memiliki lagu Syiir ini, dengan bait
bait Syiir yang mempunyai makna dalam dan begitu menyejukan sekaligus
mengingatkan pada realita saat ini, jadi tak ayal lagi dengan hadirnya Syiir
ini mampu menjawab sebuah tantangan kehidupan yang semakin rusak dan mendekati
kebobrokan. Namun dari ketenaran dan kebesaran Syiir ini masih banyak sekali
sudut sudut kontroversi tentang siapa yang menciptakan dan melantunkaan Syiir
ini. Satu sisi banyak sekali pihak yang mengatakan ini adalah karya besar dari
KH. Abdurahman Wahid (Gus Dur), namun juga hingga saat ini tidak ada bukti
yang nyata tentang kebenaran fakta ini. Lantas dari berbagai keraguan dan
keinginan untuk mencari fakta kebenaran tentang misteri pencipta Syiir yang
begitu dahsyat ini, maka di edisi Majalah Tebuireng kali ini mengangkat satu
sosok yang memang sudah ditunggu tunggu kehadiranya di rubrik ini yaitu KH.
Nizam As-shofa, sang pencipta dan pelantun Syiir Tanpo Waton. Lantas bagaimana
cerita tentang awal pembuatan Syiir ini dan kandungan kandungan pesan moral
yang terdapat di setiap bait bait indahnya. Maka pada 28 Oktober 2011 Wartawan
Majalah Tebuireng ( Prio Nur ) berkunjung di kediaman beliau, tepatnya di
Pesantren Darul Shofa Wal Wafa Desa Tanggul Wonoayu Krian Sidoarjo. Dan
demikianlah kutipan ringkas hasil wawancara bersama beliau.
Sebelum masuk pada
pembahasan yang lebih dalam, Ngapunten Gus. Bisa menceritakan perjalanan
pendidikan Gus Nizam sendiri, baik formal maupun Non formalnya?
Ketika Pagi hari
saya sekolah di MI Bahrul ulum tepatnya di Krian dan sorenya Diniyah. Setelah
lulus saya mondok di Kyai Iskandar Umar Abdul Latif di Pesantren Darul Falah.
Terus sekolah MTs Negeri juga Krian, tetapi setelah ini saya juga bermukin di
Pesantren, setelah lulus Tsanawiyah saya hijrah ke Lirboyo Kediri tapi cuman 1
tahun setengah setelah itu merantau ke Sumatra tepatnya di Aceh dan kembali
pulang 2 tahun persis. Disana gak sekolah. Pulang dari perantauan itu kemudian
mondok lagi di Bekasi. Dan langsung masuk kelas 2 Aliyah, setelah setahun
begitu naik kelas 3 siangnya saya Kulya. Karena di Pondok kalau kelas 3 sudah
boleh kuliah, ketika itu saya ambil jurusan sastra hingga sampai semester 7
saya berhenti dan melanjutkan ke Kairo Mesir. Lantaran dapat beasiswa dari
PBNU. Dulu kan setiap tahun PBNU memberangkatkan 2 sampai 3 anak. tepatnya
Tahun 1995 saya berangkat ke Kairo dan belajar di Jurusan Bahasa Arab. Tetapi
kalau pendidikan non formal saya ya selalu aktif mengikuti tarekat disana.
Waktu muda dulu sudah sering kholwat. Di Mesir juga aktif mengikuti kajian
syeih-syeih tarekat.
Kalau melihat
kesehariannya Gus Nizam yang memang fokus ditarekat, apakah ada guru khusus
yang mewarisi keilmuan ini kepada panjenengan Gus ?
Ada. Tetapi saya
berpindah pindah. Kalau formalnya ya di al-Azhar, tapi saya lebih sering
bekunjung ke syeh syeh di Mesir. Saya juga sering ikut Halaqoh-Halaqoh di
Masjid al-Azhar. Karena Saya lebih senang belajar di non formal. Kalau saya
lebih suka di bangku non kuliah, soalnya saya pikir kalau di bangku kuliah itu
sudah cukup dengan mempelajari buku buku yang sudh disediakan disana, kalau
yang non formal kan keberkahnya lebih banyak.
Dan kapan Awal Gus
Nizam mendalami tasawuf dan dunia tarekat seperti sekarang ini ?
Sebelum berangkat
di Kairo saya sudah mendalami tarekat kepada guru saya disini. Tepatnya sejak
di pondok Bekasi, tapi berkembang pesat ketika telah berada di Mesir, hal ini
karena saya sering mengunjungi Ulama dan Syeh disana.
Nama dari ajaran
Tarekat yang Panjenengan dalami saat ini Gus ?
Tarekat
Naqsabandiyah Kholidiyah Mujadadiyah. Ya sering kali disebut Tarekat
Kholidiyah.
Setelah dari Mesir,
untuk pengembangan Tarekat yang panjenegan kuasai bagaimana Gus ?
Awalnya saya di
Tegal Tanggol Wonoayu pada tahun 2002. Dan dulu langsung buka kajian al-Hikam
dan Jami’ul Usul fi-Auliya’.
Ketika Gus Nizam
pertama kali membuka kajian tarekat, bagaimana respon masyarakat. Bukankah
pasti banyak sekali masyarakat yang belum paham tentang ajaran-ajaran seperti
ini. Mengingat ini adalah lingkungan pedesaan?
Semua Ustad dan
Kiyai setempat semuanya menentang keras. Saya dianggap sesat bahkan dulu ketika
awal mula saya membuka kajian ini hampir semua peserta pengajian adalah para
preman dan anak nakal yang notabenenya adalah anak jalanan. Bahkan terkesan
baju baju yang mereka pakai ala kadarnya dan terlihat amburadul. Mereka kan
bukan santri, sholatnya juga bolong-bolong kadang-kadang juga minum. Ya mungkin
dari latar belakang inilah para Kyai dan Ustadz disini menganggap ajaran yang
saya kaji disini adalah aliran sesat. Disamping itu, kami juga sering sekali
menerima orang orang gila atau kesurupaan minta tolong ke kita untuk diobati.
Selama 3 sampai 4 tahun banyak sekali orang-orang seperti ini yang datang. Dan
yang menjadi sorotan masyarakat salah satunya yaitu ketika orang orang gila
disini keluar dari padepokan saya dan membaur dilingkungan masyarakat selalu
saja masyarakat menganggap bahwa orang itu gila karena mengikuti kajian yang
saya dirikan, padahal ya memang sudah gila dari awalnya, bahkan kami mencoba
untuk menyembuhkannya.
Kalau melihat
cerita cerita tentang dakwah Gus Nizam di bidang Tarekat, apakah Dari
perjalanan Gus Nizam dalam mengembangkan ajaran tarekat, hanya sebatas
dilingkungan disini, atau bahkan mungkin sebelum ini Gus Nizam sudah berganti
ganti tempat ?
Jadi begini,
sebelum saya di desa Tanggul. Saya sudah sering membuka pengajian di
Masjid-masjid desa dan kemudian ada orang yang memberi tanah wakaf, awalnya
bekas kandang ayam yang sudah mau roboh kemudian kita sedikit benahi, kita
sanggah karena sudah miring dan reot, dan dari sinilah kita mendirikan Majlis
Ta’lim. Dan Alhamdulillah tahun demi tahun sudah bisa seperti ini.
Melihat
perkembangan sekarang ini, dari bilik-bilik Majlis Ta’lim yang sederhana.
Hingga saat ini sudah berdiri Pesantren yang panjenengan beri nama Pondok
Pesantren Darul Shofa Wal Wafa. Lantas sejarah berdirinya pesantren ini
bagaimana Gus ?
Ini pesantren baru.
Dan didirikan pada tahun 2009, dan Alhamdulillah sekarang sudah ada yang mukim
sekitar 17 santri tapi kalau yang mengikuti pengajian pengajian tasawuf ya
sekitar 2500 orang. Bahkan dikota kota lain juga ada Majlis-majlisnya seperti
di Malang, Probolinggo, Surabaya, Gresik, ya tiap bulan rutinitas ini kami
jalankan, dulu juga ada di Jepara, Semarang dan Jember tetapi karena kesibukan
disini untuk sementara kami istirahatkan.
Dan yang menjadi
kajian disini dalam memperdalam taswuf pastinya ada kitab khusus yang menjadi
dasar pedoman Gus Nizam, nganpuntene. Boleh tau kitab apa saya Gus ?
Ya yang paling
populer disini kitab Jami’ul Ushul fil-Auliya’ ini kan menjadi buku pedoman
Jamaa’ah Tharekat Naqsabandiyah Kholidiyah. Dan kitab Al-Ahkam juga beserta
Fathul Rabbani dll.
Selain dari
kesibukan keseharian Gus Nizam sebagai guru Tarekat disini, aktifitas apalagi
Gus yang panjenengan lakukan ?
Saya banyak
kelompok-kelompok diluar kegiatan saya ini yang saya rangkul terutama para
preman-preman dan gelandangan, anak-anak nakal semuanya saya jadikan teman,
saya dekati dan tanpa mereka tau sebenarnya saya adalah seorang ustadz. Ya saya
bergabung saja dengan mereka sedikit demi sedikit mereka saya rangkul, tidak
hanya itu dan juga lintas agama juga.
Jadi begini Gus,
ada yang menarik dari Gus Nizam sehingga membuat Guz Nizam selalu menjadi
pembicaraan khusus oleh masyarakat masyarakat umum, tak lain yaitu karena karya
Syiir Guz Nizam “Syiir Tanpo Waton” yang meledak hebat, bahkan hampir semua
kaum Muslimin mempunyai Syiir itu, nah, sebenarnya kapan Gus Nizam menciptakan
Syiir ini, beserta latar belakangnya ?
Saya mulai
menciptakan Syiir ini pada tahun 2004, dan yang melatar belakangi saya untuk
membuat Syiir ini adalah awalnya karena semakin banyaknya golongan garis keras
yang mengatasnamakan Islam dan dari kepekaan membaca kondisi umat Islam saat
ini kok tidak sesuai dengan kualitas umat Islam pada jaman Sahabat dulu.
Sekarang ini banyak sekali para Kyai,para Ulama, pada sisi keikhlasan,
keseriusan, ke wira’inya sepertinya kok jauh sekali dari kualitas Ulama’ jaman
dulu. Dan awalnya dulu begini, saya sering sekali kholwat menyendiri di kamar,
dan karena saya ini seneng sekali dengan budaya budaya jawa seperti wayang dll,
tetapi sebenernya Syiir ini tercipta karena saya itu kalau setelah pengajian
selesai menginginkan ada satu lagu yang bisa dinyanyikan bersama. Jadi seperti
itu, nah melalui proses demi proses akhirnya selesailah Syiir ini hingga saat
ini bisa di lantunkan oleh orang orang banyak, dan untuk kata katanya itu
adalah hasil dari pemahaman saya dari kajian yang saya dapatkan dari guru saya,
sebenarnya dulu ada 17 bait namun sekarang saya sederhanakan menjadi 13 bait.
Syiir Tanpo Waton
ini ketika dilihat dari sudut makna nya Gus, setiap baitnya mempunyai makna dan
memerlukan tafsiran yang panjang, dan sebenarnya makna global sebagai pesan
moral yang bisa diambil dri syiir ini apa saja Gus ?
Jadi begini, kita
harus benar benar mentauhidkan Allah, menyatukan segenap sel sel partikel atom dalam
tubuh ini agar selalu kontak dengan Allah. Dan kita belajar untuk berhenti
melihat aib aib dan kekurangan dari orang lain dan kita harus selalu sibuk
melihat aib kita sendiri bukan aib orang lain, ya sebenernya di tiap tiap bait
itu ada pesan moral yang sarat sekali ketika kita membahasnya.
Kalau melihat satu
bait saja didalam Syiir Tanpo Waton karyanya panjenengan Gus, ada satu bait
yang saya kira ini menimbulkan banyak kontroversi, baik dikalangan Ulama’
maupun masyarakat awal, yaitu bait yang berbunyi “ Kafire dewe ra digatekne”.
Nah bagaimana penjelasan dari bait ini Gus, bukannya devinisi orang kafir itu
adalah orang orang yang bukan Islam ?
Sering kali kita
ini dan saya menemukan perenungan. Kenapa ya kita ini dengan mudahnya melihat
kekurangan, kelemahan dari orang lain tanpa pernah kita melihat kekurangan dan
kelamahan diri sendiri. Mudah sekali kita menyalahkan orang lain, menjelek
jelekan orang lain, menganggap orang lain itu sesat bahkan kita mengkafir orang
lain. Ya itu berlandas karena dari awal kami mendirikan Majlis Ta’lim kami
selalu di cap kafir, melenceng dari ajaran Islam padahal mereka belum melihat
realitanya. Padahal mereka juga tau tentang hadis yang berbunyi “barang siapa
yang menuduh saudaranya kafir, maka dialah yang kafir”. Tetapi kita sebenarnya
dalam memaknai kafir pemahaman kita perlu untuk diluruskan. Karena sebenarnya
bisa dikatakan orang kafir adalah orang yang mengkufuri nikmat. Ketika kita
diberi nikmat tetapi kita tak bersyukur maka kita bisa disebut kufur nikmat ,
kemudian juga ketika hati kita resah dan gelisan kita terllau mencintai dunia
maka kita juga itu sudah dalam kedaan kafir, bahkan Rasulullah sendiri
menyebutkan bahwa kadang kadang kimanan kita ini naik turun. Sering kali kita
itu sore mukmin pagi kafir, ya kufur nikmat dan ini bisa menjangkin semua
manusia dan jin, kafir kan sifatnya dan ini bisa terjadi kapan saja. Dan ketika
kita mengeluh kepada selain Allah pada saat itu juga kita kafir ya walaupun KTP
nya Islam, karena sebenarnya banyak sekali orang Islam tetapi belum Islam.
Sebelumnya maaf
Gus, Bisa dikatakan Syiir Tanpo Waton itu meledak setelah wafatnya Gus Dur, dan
banyak sekali orang yang yang belum mengetahui sebenrnya panjenenganlah yang
menciptakan dan melantunkan lagu syiir itu. Mereka semua yakin bahwa ini adalah
karya terbesar dari mendiang Gus Dur sebelum beliau wafat, lantas bagaimana
tanggapan dari Gus Nizam sendiri ?
Saya pribadi
sebenarnya tidak pernah mempersoalkan tentang itu, bahkan saya bangga ketika
Syiir Tanpo Waton ini dinisbatkan kepada satu tokoh yang sangat saya kagumi
ketika saya kecil sampai sekarang. Dan saya tidak mempersoalkan tentang itu kan
yang penting bisa diterima oleh masyarakat muslim. Bahkan soal Syiir ini
sebenarnya kalau ada orang yang ingin merasa memiliki saya pribadi tidak akan
mempersoalkan tentang ini, monggo. Tetapi begini, awal dari meledaknya Syiir
ini adalah awalnya ketika ada pengajian di Malang yang dikaji oleh salah satu
Kyai disana dan beliau membawa VCD yang diberi nama Gus Dur Bersyiir beserta
diwajibkan kepada Jama’ahnya untuk melantunkannya dan setelah ini berkembang
hingga saat ini. Toh sebenarnya saya tidak masalah Syiir Tanpo Waton ini mau
diakui oleh siapapun. Tetapi malahan pengurus pengurus pesantren disinilah dan
dari Jama’ah saya yang menjadi pengacara yang tidak terima ketika Syiir ini di
nisbatkan oleh orang lain, sehingga mereka menghakpatenkan Syiir ini agar tidak
ada lagi yang mengaku lagi, kalau saya sendiri ya tidak ada apa apa dan sama
sekali tidak masalah tentang siapapun yang mau mnisbatkan Syiir ini.
Dan yang terakhir
Gus, pesan pesan panjenegan untuk semua kalangan terutama untuk para santri
yang sedang menuntut ilmu di pesantren ?
Kenalilah Allah,
pesan saya monggo melahirkan jiwa Muhammad dan mewujudkan pakartining Gusti,
melahirkan jiwa Muhammad yaitu yang suka sesuatu yang positif tetapi tidak menyukai
yang negatif. Contohnya suka menolong tapi tidak suka ditolong, suka memberi
tapi tidak suka diberi, suka memberi tapi tidak suka diberi, mengasihi tapi
tidak suka dikasihi. Harus punya jiwa kesatria, suka dihina juga tapi tidak suka
menghina dan ini bukan lantaran pengen dihina tetapi selalu tabah dan lapang
dada, ingatlah ketika kita menegakan kebenaran pasti akan banyak sekali
halangan halangan yang menghadang kepada kita yang selalu menghina kita dan
pasti siapa yang berjalan di jalan kebenaran pasti akan banyak sekali yang
menfitnah dan menghalangi. Rosulullah saja selalu mendapatkan kejelekan
kejelekan seperti ini, padahal cara Nabi Muhammad saat itu sangat arif, bijak,
damai dalam berdakwahnya. Dan ketika kita benar benar hanya bergantung kepada
Allah maka kita tidak akan pernah takut dalam menegakan kebenaran dan
menghadapi musuh musuh yang mengganggu. “ ngelahiraken jiwa muhammad lan
mujudaken pakartine Gusti”.
Di poskan oleh
Unknown
di
Sabtu, April 20, 2013

Pertama,
seorang santri hendaknya membersihkan hatinya dari segala hal yang dapat
mengotorinya seperti dendam, dengki, keyakinan yang sesat dan perangai
yang buruk.
Hal itu dimaksudkan agar hati mudah
untuk mendapatkan ilmu, menghafalkannya, mengetahui
permasalahan-permasalahan yang rumit dan memahaminya.
Kedua,
hendaknya memiliki niat yang baik dalam mencari ilmu, yaitu dengan
bermaksud mendapatkan ridho Allah, mengamalkan ilmu, menghidupkan
syariah Islam, menerangi hati dan mengindahkannya dan mendekatkan diri
kepada Allah. Jangan sampai berniat hanya ingin mendapatkan kepentingan
duniawi seperti mendapatkan kepemimpinan, pangkat, dan harta atau
menyombongkan diri di hadapan orang atau bahkan agar orang lain hormat.
Ketiga,
hendaknya segera mempergunakan masa muda dan umurnya untuk memperoleh
ilmu, tanpa terpedaya oleh rayuan "menunda-nunda" dan "berangan-angan
panjang", sebab setiap detik yang terlewatkan dari umur tidak akan
tergantikan. Seorang santri hendaknya memutus sebisanya urusan-urusan
yang menyibukkan dan menghalang-halangi sempurnanya belajar dan kuatnya
kesungguhan dan keseriusan menghasilkan ilmu, karena semua itu merupakan
faktor-faktor penghalang mencari ilmu.
Keempat,
menerima sandang pangan apa adanya sebab kesabaran akan ke-serba
kekurangan hidup, akan mendatangkan ilmu yang luas, kefokusan hati dari
angan-angan yang bermacam-macam dan hikmah hikmah yang terpancar dari
sumbernya.
Imam As-Syafi'i Ra berkata, tidak akan
bahagia orang yang mencari ilmu disertai tinggi hati dan kemewahan
hidup. Tetapi yang berbahagia adalah orang yang mencari ilmu disertai
rendah hati, kesulitan hidup dan khidmah pada ulama.
Kelima, pandai membagi waktu
dan memanfaatkan sisa umur yang paling berharga itu. Waktu yang paling
baik untuk hafalan adalah waktu sahur, untuk pendalaman pagi buta, untuk
menulis tengah hari, dan untuk belajar dan mengulangi pelajaran waktu
malam. Sedangkan tempat yang paling baik untuk menghafal adalah kamar
dan tempat-tempat yang jauh dari gangguan. Tidak baik melakukan hafalan
di depan tanaman, tumbuhan, sungai dan tempat yang ramai.
Keenam, makan
dan minum sedikit. Kenyang hanya akan mencegah ibadah dan bikin badan
berat untuk belajar. Di antara manfaat makan sedikit adalah badan sehat
dan tercegah dari penyakit yang di akibatkan oleh banyak makan dan
minum, seperti ungkapan syair yang artinya:
"Sesungguhnya penyakit yang paling banyak engkau ketahui berasal dari makanan atau minuman."
Hati dikatakan sehat bila bersih dari
kesewenang-wenangan dan kesombongan. Dan tidak seorangpun dari para
wali, imam dan ulama pilihan memiliki sifat atau disifati atau dipuji
dengan banyak makannya. Yang dipuji banyak makannya adalah binatang yang
tidak memiliki akal dan hanya dipersiapkan untuk kerja.
Ketujuh,
bersikap wara' (mejauhi perkara yang syubhat 'tidak jelas ' halal
haramnya) dan berhati-hati dalam segala hal. Memilih barang yang halal
seperti makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan semua kebutuhan
hidup supaya hatinya terang, dan mudah menerima cahaya ilmu dan
kemanfaatannya. Hendaknya seorang santri menggunakan hukum-hukum
keringanan (rukhsoh) pada tempatnya, yaitu ketika ada kebutuhan
dan sebab yang memperbolehkan. Sesungguhnya Allah senang bila hukum
rukhsohnya dilakukan, seperti senangnya Allah bila hukum 'azimahnya (hukum sebelum muncul ada sebab rukhsoh) dikerjakan.
Kedelapan,
meminimalisir penggunaan makanan yang menjadi penyebab bebalnya otak dan
lemahnya panca indera seperti buah apel yang asam, buncis dan cuka.
Begitu juga dengan makanan yang dapat memperbanyak dahak (balgham) yang
memperlambat kinerja otak dan memperberat tubuh seperti susu dan ikan
yang berlebihan. Hendaknya seorang santri menjauhi hal-hal yang
menyebabkan lupa seperti makan makanan sisa tikus, membaca tulisan di
nisan kuburan, masuk di antara dua unta yang beriringan dan membuang
kutu hidup-hidup.
Kesembilan,
meminimalisir tidur selama tidak berefek bahaya pada kondisi tubuh dan
kecerdasaan otak. Tidak menambah jam tidur dalam sehari semalam lebih
dari delapan jam. Boleh kurang dari itu, asalkan kondisi tubuh cukup
kuat. Tidak masalah mengistirahatkan tubuh, hati, pikiran dan mata bila
telah capek dan terasa lemah dengan pergi bersenang-senang ke
tempat-tempat rekreasi sekiranya dengan itu kondisi diri dapat kembali (fresh).
Kesepuluh,
meninggalkan pergaulan karena hal itu merupakan hal terpenting yang
seyogyanya di lakukan pencari ilmu, terutama pergaulan dengan lain jenis
dan ketika pergaulan lebih banyak-main-mainnya dan tidak mendewasakan
pikiran. Watak manusia itu seperti pencuri ulung (meniru perilaku orang
lain dengan cepat) dan efek pergaulan adalah ketersia-siaan umur tanpa
guna dan hilang agama bila bergaul dengan orang yang bukan ahli agama.
Jika seorang pelajar butuh orang lain yang bisa dia temani, maka
hendaknya dia jadi teman yang baik, kuat agamanya, bertaqwa, wara ',
bersih hatinya, banyak kebaikannya, baik harga dirinya (muru'ah), dan tidak banyak bersengketa: bila teman tersebut lupa dia ingatkan dan bila sudah sadar maka dia tolong.
(Diterjemahkan dari kitab "Adabul 'Alim wal Muta' allim" karya KH. M. Asy'ari)
Langganan:
Postingan (Atom)