Selamat datang di blog saya Semoga bermanfaat...(Y)

20 April 2013

Menuju Satu Umat: Potensi dan Kendalanya

Sebenarnya sudah cukup banyak tulisan yang membahas tentang masalah kesatuan umat ini. Sayangnya, hingga kini tetap tak kunjung ada upaya untuk mewujudkannya. Barangkali, ibarat resep hanya dibaca, tetapi obatnya sendiri tidak pernah diminum. Mungkin juga karena wujud Ummatan wahidah (kesatuan umat) yang dikehendaki itu tidak pernah jelas.

Secara harfiyah, Ummatan wahidah itu berarti umat yang satu, atau satu umat. Atau dengan istilah lebih longgar, kesatuan umat. Nah, satu umat itu secara fisik atau ide? Kalau secara fisik, tentu sangat sulit mewujudkannya, lebih-lebih dalam dunia yang makin kompleks ini. Berbicara tentang satu umat Islam di Indonesia saja, tetapi harus juga melibatkan umat Islam di dunia. Kalau secara ide, bukankah umat Islam telah satu ide dan satu tujuan dalam banyak hal?

Secara normatif, baik Al-Qur'an maupun Hadist banyak sekali berbicara mengenai Ummatan Wahidah dan Ukhwah Islamiyah. Dalam Al-Qur'an, antara lain disebutkan: “Sesungguhnya, ini adalah umatmu semua, umat yang satu”.(QS. Al Anbiya:92). Dalam ayat lain disebutkan: “Sesungguhnya, orang orang mukmin itru bersaudara karena itu berbaik-baiklah diantara saudaramu”(QS. Al Hujarat: 10).

Apa yang dimaksud dengan “umat yang yang satu” adalah sama dalam pokok-pokok keprcayaan dan syari'at. Oleh karena itu,
pembicaraan mengenai penyatuan umat dalam pokok kepercayaan dan syari'at tak relevan lagi. Hal terpenting untuk dibicarakan adalah bagaimana umat mempunyai pokok kepercayaan dan syari'at yang sama itu mempunyai tujuan dan kepedulian (concern) yang sama pula. Cara mencapai tujuan dan kepedulian itu sama aja berbeda, asal tak melupakan tujuan dan kepedulian yang sama itu.

Kalau umat yang satu itu berarti mewadahi umat dalam satu wadah itu tidak realistis. Lebih baik kalau kita berbicara bagaimana menggalang berbagai kelompok dan aliran yang ada dalam Islam lalu dijadikan sebagai satu potensi. Paling tidak, ada dua cara yang bisa ditempuh, yakni: membina dan menigkatkan interdepedensi antar sesama muslim dan antarkelompok dan aliran Islam. Membina interdependensi berarti menjaga keseimbangan antara dependansi (ketergantungan) dan kompetensi (persaingan).

Soal dependensi, Nabi Muhammad pernah bersabda: “Seorang muslim dengan muslim yang lain itu bagaikan bangunan yang saling
menguatkan.” Dengan demikian, tidak mungkin yang satu mengabaikan, apalagi menafikan (meniadakan) yang lain. Sedangkan kompetensi, Allah berfirman: “Berlomba-lombalah dalam kebaikan dan takwa”. Dua hal ini (dependensi dan kompetensi) sangatlah penting. Kalau kita hanya mementingkan dependensi mungkin akan tercipta kesatuan, tetapi eksploitasi terhadap pihak yang tergantung juga sulit dihindarkan. Selain itu, akan mengakibatkan juga kemujudan. Sedangkan mementingkan kompetensi belaka, bisa menjurus ke arah persaingan yang tidak sehat. Kalau sudah begini, jangan harap kesatuan akan terwujud.

Lebih dari itu perlu juga umat Islam menejemen masing-masing organisasi yang ada. Berbicara menejemen tentu bukan hanya berbicara mengenai bagaimana mengelola organisasi, tetapi juga bagaimana bekerja sama dengan pihak lain. Pengalaman selama ini menujukan bahwa kita bekerjasama dengan sesama Islam. Sebenarnya umat Islam bisa duduk satu meja untuk merencanakan apa
yang bisa dikerjakan bersama, membagi tugas dan kerja sesuai spesifikasi dan potensi masing-masing, serta kemudian mengevaluasi program bersama itu.

Perlu diakui, tidak mudah melakukan dua hal tersebut, ada banyak kendala untuk mewujudkan, antara lain:
Pertama, sikap arogan yang ada pada masing masing orang Islam dan kelompok serta aliran. Masing-masing membanggakan diri dengan apa yang ada pada dirinya. Masing-masing merasa paling banyak berbuat dan paling banyak berjasa bagi kehidupan. Dari sikap ini muncul rasa gengsi untuk bekerjasama dengan pihak lain karena pihak lain dianggap belum banyak berbuat dan berjasa bagi kehidupan, sehingga tidak setara untuk bekerja sama. Sikap seperti ini sampai sekarang masih merasuki sebagian umat Islam dan kelompok atau aliran Islam. Padahal, dalam al Qur'an Allah mecela sikap seperti ini: Kemudian mereka menjadikan mereka terpecah menjadi beberapa bagin. Tiap golongan merasa bangga dengan apa dengan apa yang ada pada diri mereka. Maka, biarkanlah mereka dalam kesesatan sampai batas waktu tertentu. (QS. Al Mukminun:53-54.)

Kedua, sikap muthlak-muthlakan dan merasa paling benar. Seperti halnya sikap arogan, sikap ini juga masih banyak menghinggapi kalangan umat Islam hingga sekarang. Merasa paling benar dan yang lain dipandang salah. Sikap ini mula-mula berkembang dalam masalah ushuludin dan ubudiyah, namun lama-lama berkembang ke masalah-masalah mu'amalah dan duniawiyah yang lain. Dalam Al Qur'an, Allah juga mencela sikap seperti ini: “Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang menganggap dirinya bersih?”. (QS. An Nisa:49).

Ketiga, sikap curiga dan berburuk sangka kapada pihak lain. Selalu mencurigai pihak lain adalah sikap dan perbuatan yang tidak baik. Oleh karena itu, tidak perlu bekerja sama dengan pihak lain.

Keempat, semakin berkembangnya individualisme. Ini berakibat dari industrialisasi. Menurut Futurology Alfin Toffer, ciri masyarakat industri antara lain adalah wewenang keputusan berada pada pemilik modal, masyarakat adalah perpanjangan dari mesin, dan acuannya bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok (fisik), tapi juga rasa aman dan afilisasi sosial. Dengan ciri yang demikian, tentu membawa masyarakat yang berbeda dengan masyarakat yang agraris, termasuk dalam keagamaan.

Duyfendak mengemukakan beberapa kemungkinan perubahan akibat proses industrialisasi, antara lain: 1. Perubahan sifat masyarakat, dari masyarakat gotong royong, guyub, menjadi masyarakat individualistis, 2. Perubahan asas-asas masyarakat, dari masyarakat yang agamis menjadi masyarakat yang profan. Masyarakat individualis hanya mementingkan diri sendiri dan tak mau tahu urusan orang lain. Tentu tak menguntungkan bagi penggalangan Ummatan Wahidah melalui peningkatan interpendensi dan manajemen, sebagaimana diuraikan tadi.

Faktor Pendukung

Untuk menuju Ummatan Wahidah melalui peningkatan interpendensi dan manajemen maka hal-hal yang menjadi kendala diatas harus tereliminasi. Sikap arogansi, muthlak-muthlakan, saling curiga, dan individualistis harus dikikis habis. Etos Al- Qur'an jangan hanya menjadi slogan! Selama ini kita bicara soal perlunya mengedepankan etos Al-Qur'an, tetapi tindakan kita selalu mengedepankan etos kelompok

Penggalangan Ummatan wahidah bisa terwujud apabila ada beberapa faktor pendukung, antara lain:

1. Faktor pendidikan. Saat ini rata-rata tingkat pendidikan masyarakat kita semakin tinggi. Selain itu, bidang pendidikan saranajuga semakin beragam. Anak-anak dari kalangan NU dan Muhammadiyah, misalnya, kini sama-sama belajar di sekolah umum. Di lain kasus, anak-anak dari kalangan NU belajar disekolah Muhammadiyah, dan anak-anak Muhammadiyah juga belajar di pesantren. Ini sangat membantu membuka cakrawala berfikir umat Islam dan mengeleminir sikap arogansi, muthlak-muthlakan, dan saling curiga. Dulu karena anak-anak dari kalangan NU hanya belajar di pesantren, dan anak-anak Muhammadiyah hanya belajar di lembaga pendidikan Muhammadiyah, wajar kalau timbul sikap ekslusif.

2. Sikap terbuka dari berbagai kalangan Islam. Ini juga antara lain tentu berkat pendidikan juga. Sekarang ini, NU dan Muhammadiyah misalnya, sudah melakukan program bersama tanpa menyinggung masalah-masalah khilafiyah yang selama ini dipertengkarkan. Hanya saja, kerja sama itu perlu ditingkatkan lagi dimasa-masa mendatang.

3. Silaturrahmi yang semakin lancar. Munculnya sikap saling curiga itu antara lain karena tidak adanya komunikasi dan dialog antara sesama orang Islam dan kelompok/aliran Islam. Sekarang ini, sarana- sarana komunikasi semakin lancar. Sesama muslim bisa lebih gampang dan sering bertemu. Ini merupakan awal yang baik bagi terbentuknya interdependensi sesama muslim dan kelompok/aliran Islam.

Demikianlah pokok-pokok pikiran yang bisa saya sampaikan dalam tulisan singkat ini. Semoga dapat menjadi stimulan bagi umat Islam untuk menunjukan potensinya yang besar yang diperoleh dari kekuatan mereka lantaran bersatu padu. Tanpa kesatuan dalam menggalang potensi umat di masa kini dan mendatang akan mustahil Islam akan jaya dan memiliki kekuatan untuk memberdayakan para pemeluknya.

*)Tulisan ini pernah dimuat di tabloid “WARTA NU” Nomor 19/Tahun V/September 1989/Muharam 1410.
Awalnya, tulisan ini berasal dari makalah yang disampaikan oleh penulisnya
dalam Seminar Nasional Sehari di Universitas Muhammadiyah Surabaya, Juli 1989.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar