Sebenarnya sudah cukup banyak tulisan yang membahas tentang masalah
kesatuan umat ini. Sayangnya, hingga kini tetap tak kunjung ada upaya
untuk mewujudkannya. Barangkali, ibarat resep hanya dibaca, tetapi
obatnya sendiri tidak pernah diminum. Mungkin juga karena wujud Ummatan
wahidah (kesatuan umat) yang dikehendaki itu tidak pernah jelas.
Secara harfiyah, Ummatan wahidah itu berarti umat yang satu, atau
satu umat. Atau dengan istilah lebih longgar, kesatuan umat. Nah, satu
umat itu secara fisik atau ide? Kalau secara fisik, tentu sangat sulit
mewujudkannya, lebih-lebih dalam dunia yang makin kompleks ini.
Berbicara tentang satu umat Islam di Indonesia saja, tetapi harus juga
melibatkan umat Islam di dunia. Kalau secara ide, bukankah umat Islam
telah satu ide dan satu tujuan dalam banyak hal?
Secara normatif, baik Al-Qur'an maupun Hadist banyak sekali berbicara
mengenai Ummatan Wahidah dan Ukhwah Islamiyah. Dalam Al-Qur'an, antara
lain disebutkan: “Sesungguhnya, ini adalah umatmu semua, umat yang
satu”.(QS. Al Anbiya:92). Dalam ayat lain disebutkan: “Sesungguhnya,
orang orang mukmin itru bersaudara karena itu berbaik-baiklah diantara
saudaramu”(QS. Al Hujarat: 10).
Apa yang dimaksud dengan “umat yang yang satu” adalah sama dalam pokok-pokok keprcayaan dan syari'at. Oleh karena itu,
pembicaraan mengenai penyatuan umat dalam pokok kepercayaan dan
syari'at tak relevan lagi. Hal terpenting untuk dibicarakan adalah
bagaimana umat mempunyai pokok kepercayaan dan syari'at yang sama itu
mempunyai tujuan dan kepedulian (concern) yang sama pula. Cara mencapai
tujuan dan kepedulian itu sama aja berbeda, asal tak melupakan tujuan
dan kepedulian yang sama itu.
Kalau umat yang satu itu berarti mewadahi umat dalam satu wadah itu
tidak realistis. Lebih baik kalau kita berbicara bagaimana menggalang
berbagai kelompok dan aliran yang ada dalam Islam lalu dijadikan sebagai
satu potensi. Paling tidak, ada dua cara yang bisa ditempuh, yakni:
membina dan menigkatkan interdepedensi antar sesama muslim dan
antarkelompok dan aliran Islam. Membina interdependensi berarti menjaga
keseimbangan antara dependansi (ketergantungan) dan kompetensi
(persaingan).
Soal dependensi, Nabi Muhammad pernah bersabda: “Seorang muslim dengan muslim yang lain itu bagaikan bangunan yang saling
menguatkan.” Dengan demikian, tidak mungkin yang satu mengabaikan,
apalagi menafikan (meniadakan) yang lain. Sedangkan kompetensi, Allah
berfirman: “Berlomba-lombalah dalam kebaikan dan takwa”. Dua hal ini
(dependensi dan kompetensi) sangatlah penting. Kalau kita hanya
mementingkan dependensi mungkin akan tercipta kesatuan, tetapi
eksploitasi terhadap pihak yang tergantung juga sulit dihindarkan.
Selain itu, akan mengakibatkan juga kemujudan. Sedangkan mementingkan
kompetensi belaka, bisa menjurus ke arah persaingan yang tidak sehat.
Kalau sudah begini, jangan harap kesatuan akan terwujud.
Lebih dari itu perlu juga umat Islam menejemen masing-masing
organisasi yang ada. Berbicara menejemen tentu bukan hanya berbicara
mengenai bagaimana mengelola organisasi, tetapi juga bagaimana bekerja
sama dengan pihak lain. Pengalaman selama ini menujukan bahwa kita
bekerjasama dengan sesama Islam. Sebenarnya umat Islam bisa duduk satu
meja untuk merencanakan apa
yang bisa dikerjakan bersama, membagi tugas dan kerja sesuai
spesifikasi dan potensi masing-masing, serta kemudian mengevaluasi
program bersama itu.
Perlu diakui, tidak mudah melakukan dua hal tersebut, ada banyak kendala untuk mewujudkan, antara lain:
Pertama, sikap arogan yang ada pada
masing masing orang Islam dan kelompok serta aliran. Masing-masing
membanggakan diri dengan apa yang ada pada dirinya. Masing-masing merasa
paling banyak berbuat dan paling banyak berjasa bagi kehidupan. Dari
sikap ini muncul rasa gengsi untuk bekerjasama dengan pihak lain karena
pihak lain dianggap belum banyak berbuat dan berjasa bagi kehidupan,
sehingga tidak setara untuk bekerja sama. Sikap seperti ini sampai
sekarang masih merasuki sebagian umat Islam dan kelompok atau aliran
Islam. Padahal, dalam al Qur'an Allah mecela sikap seperti ini: Kemudian
mereka menjadikan mereka terpecah menjadi beberapa bagin. Tiap golongan
merasa bangga dengan apa dengan apa yang ada pada diri mereka. Maka,
biarkanlah mereka dalam kesesatan sampai batas waktu tertentu. (QS. Al
Mukminun:53-54.)
Kedua, sikap muthlak-muthlakan dan
merasa paling benar. Seperti halnya sikap arogan, sikap ini juga masih
banyak menghinggapi kalangan umat Islam hingga sekarang. Merasa paling
benar dan yang lain dipandang salah. Sikap ini mula-mula berkembang
dalam masalah ushuludin dan ubudiyah, namun lama-lama berkembang ke
masalah-masalah mu'amalah dan duniawiyah yang lain. Dalam Al Qur'an,
Allah juga mencela sikap seperti ini: “Apakah kamu tidak memperhatikan
orang yang menganggap dirinya bersih?”. (QS. An Nisa:49).
Ketiga, sikap curiga dan berburuk
sangka kapada pihak lain. Selalu mencurigai pihak lain adalah sikap dan
perbuatan yang tidak baik. Oleh karena itu, tidak perlu bekerja sama
dengan pihak lain.
Keempat, semakin berkembangnya
individualisme. Ini berakibat dari industrialisasi. Menurut Futurology
Alfin Toffer, ciri masyarakat industri antara lain adalah wewenang
keputusan berada pada pemilik modal, masyarakat adalah perpanjangan dari
mesin, dan acuannya bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok (fisik),
tapi juga rasa aman dan afilisasi sosial. Dengan ciri yang demikian,
tentu membawa masyarakat yang berbeda dengan masyarakat yang agraris,
termasuk dalam keagamaan.
Duyfendak mengemukakan beberapa kemungkinan perubahan akibat proses
industrialisasi, antara lain: 1. Perubahan sifat masyarakat, dari
masyarakat gotong royong, guyub, menjadi masyarakat individualistis, 2.
Perubahan asas-asas masyarakat, dari masyarakat yang agamis menjadi
masyarakat yang profan. Masyarakat individualis hanya mementingkan diri
sendiri dan tak mau tahu urusan orang lain. Tentu tak menguntungkan bagi
penggalangan Ummatan Wahidah melalui peningkatan interpendensi dan
manajemen, sebagaimana diuraikan tadi.
Faktor Pendukung
Untuk menuju Ummatan Wahidah melalui peningkatan interpendensi dan
manajemen maka hal-hal yang menjadi kendala diatas harus tereliminasi.
Sikap arogansi, muthlak-muthlakan, saling curiga, dan individualistis
harus dikikis habis. Etos Al- Qur'an jangan hanya menjadi slogan! Selama
ini kita bicara soal perlunya mengedepankan etos Al-Qur'an, tetapi
tindakan kita selalu mengedepankan etos kelompok
Penggalangan Ummatan wahidah bisa terwujud apabila ada beberapa faktor pendukung, antara lain:
1. Faktor pendidikan. Saat ini
rata-rata tingkat pendidikan masyarakat kita semakin tinggi. Selain itu,
bidang pendidikan saranajuga semakin beragam. Anak-anak dari kalangan
NU dan Muhammadiyah, misalnya, kini sama-sama belajar di sekolah umum.
Di lain kasus, anak-anak dari kalangan NU belajar disekolah
Muhammadiyah, dan anak-anak Muhammadiyah juga belajar di pesantren. Ini
sangat membantu membuka cakrawala berfikir umat Islam dan mengeleminir
sikap arogansi, muthlak-muthlakan, dan saling curiga. Dulu karena
anak-anak dari kalangan NU hanya belajar di pesantren, dan anak-anak
Muhammadiyah hanya belajar di lembaga pendidikan Muhammadiyah, wajar
kalau timbul sikap ekslusif.
2. Sikap terbuka dari berbagai kalangan
Islam. Ini juga antara lain tentu berkat pendidikan juga. Sekarang ini,
NU dan Muhammadiyah misalnya, sudah melakukan program bersama tanpa
menyinggung masalah-masalah khilafiyah yang selama ini dipertengkarkan.
Hanya saja, kerja sama itu perlu ditingkatkan lagi dimasa-masa
mendatang.
3. Silaturrahmi yang semakin lancar.
Munculnya sikap saling curiga itu antara lain karena tidak adanya
komunikasi dan dialog antara sesama orang Islam dan kelompok/aliran
Islam. Sekarang ini, sarana- sarana komunikasi semakin lancar. Sesama
muslim bisa lebih gampang dan sering bertemu. Ini merupakan awal yang
baik bagi terbentuknya interdependensi sesama muslim dan kelompok/aliran
Islam.
Demikianlah pokok-pokok pikiran yang bisa saya sampaikan dalam
tulisan singkat ini. Semoga dapat menjadi stimulan bagi umat Islam untuk
menunjukan potensinya yang besar yang diperoleh dari kekuatan mereka
lantaran bersatu padu. Tanpa kesatuan dalam menggalang potensi umat di
masa kini dan mendatang akan mustahil Islam akan jaya dan memiliki
kekuatan untuk memberdayakan para pemeluknya.
*)Tulisan ini pernah dimuat di tabloid “WARTA NU” Nomor 19/Tahun V/September 1989/Muharam 1410.
Awalnya, tulisan ini berasal dari makalah yang disampaikan oleh penulisnya
dalam Seminar Nasional Sehari di Universitas Muhammadiyah Surabaya, Juli 1989.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar